FillOvers, Perhatian untuk Gen Z di Dunia Kerja: Studi Mengungkap Alasan Banyaknya Pemecatan Setelah Diterima Kerja
Dilaporkan dari Wolipop melalui Euronews, sebuah studi yang melibatkan 1.000 manajer yang membawahi pekerja di usia 20-an baru-baru ini mengungkapkan tren mengejutkan di dunia kerja: banyak perusahaan yang memutuskan hubungan kerja dengan karyawan Gen Z tak lama setelah diterima. Hal ini semakin menarik perhatian, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa satu dari enam manajer mengaku enggan mempekerjakan Gen Z kembali karena reputasinya yang kurang baik.
Penelitian ini mencatat bahwa banyak pekerja yang lahir antara tahun 1997 dan 2000 dinilai belum siap memasuki dunia kerja. Beberapa masalah yang muncul antara lain kurangnya pemahaman mengenai etika kerja, kesulitan dalam berkomunikasi, kegagalan menerima kritik, dan kegagalan memenuhi tuntutan pekerjaan secara keseluruhan.
Holly Schroth, dosen senior di Haas School of Business, University of California, memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai fenomena ini. Menurutnya, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah sistem pendidikan yang mengedepankan kegiatan ekstrakurikuler di kampus. Gen Z, yang lebih fokus pada kegiatan tersebut, dinilai kurang siap memasuki dunia profesional.
Schroth menjelaskan, “Mereka tidak mengetahui bagaimana berinteraksi sosial dengan pelanggan, klien, dan rekan kerja, serta tidak memahami etika tempat kerja. Di sisi lain, perusahaan harus siap memberikan pelatihan yang memadai agar pegawai baru dapat beradaptasi. Oleh karena itu, para manajer perlu berperan sebagai pelatih sekaligus pemimpin yang membimbing karyawan,” tuturnya.
Studi ini juga mencatat adanya sejumlah testimoni dari para manajer yang merasa kesulitan bekerja dengan Gen Z. Banyak dari mereka yang mengeluhkan kekurangan bekal soft skill dan hard skill, serta kesulitan dalam mengatur beban kerja. Beberapa bahkan menyebutkan bahwa Gen Z sering terlambat, dan kesulitan dalam berpakaian atau berbicara secara profesional.
Berikut adalah 10 alasan terbesar Gen Z dipecat berdasarkan studi tersebut:
- Kurangnya motivasi dan inisiatif dalam bekerja (50%)
- Kurang profesional (46%)
- Kurangnya kemampuan organisasi (42%)
- Kurangnya kemampuan komunikasi (39%)
- Tidak bisa menanggapi feedback (38%)
- Kurang pengalaman kerja yang relevan (38%)
- Kurang dalam memecahkan masalah (34%)
- Kemampuan teknis yang tidak efisien (31%)
- Tidak bisa berbaur dengan budaya perusahaan (31%)
- tidak nyaman bekerja dalam waktu (30%)
Namun, ada harapan untuk perubahan. Baik perusahaan maupun Gen Z perlu beradaptasi agar bisa saling menguntungkan. Para pekerja muda juga perlu mengubah kebiasaan dan menambah bekal agar dapat sukses di dunia profesional. Berikut adalah 11 cara agar Gen Z diterima dan disukai oleh perusahaan menurut pengalaman para manajer:
- Ucapkan inisiatif
- Bersikap positif
- Pengertian etika kerja
- Mau beradaptasi
- Mau menerima saran dan kritik
- Tepat waktu dan bisa diandalkan
- Punya kemampuan teknis yang kuat
- Kemampuan interpersonal yang baik
- Punya pengalaman magang dan kerja
- Menggunakan media sosial dengan pantas
- Hindari perbincangan politik
Dengan meningkatkan kemampuan pribadi dan kesiapan mental, Gen Z dapat menjadi bagian integral dalam dunia kerja yang semakin kompetitif. Sebagai FillOvers yang siap menghadapinya, langkah-langkah ini dapat menjadi kunci sukses bagi generasi muda dalam berkarier.
Alasan Gen Z Menjadi Generasi yang Kurang Terampil dalam Bersaing: Sebuah Tinjauan Ilmiah
Generasi Z (Gen Z), yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, sering digambarkan sebagai generasi yang sangat terhubung dengan teknologi dan media sosial. Namun, meskipun mereka mahir dalam penggunaan teknologi digital, berbagai penelitian menunjukkan bahwa mereka seringkali menghadapi tantangan dalam bersaing di dunia kerja dan profesional. Beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya keterampilan dalam bersaing dapat dijelaskan:
1. Perubahan Sistem Pendidikan yang Kurang Fokus pada Keterampilan Kerja
- Teori: Teori Pembelajaran Konstruktivis (Piaget, Vygotsky)
- Pendidikan formal saat ini sering kali fokus pada teori dan pengajaran akademik yang intens, sementara keterampilan praktis, seperti pemecahan masalah nyata, keterampilan interpersonal, dan etika profesional, kurang mendapat perhatian. Dalam hal ini, sistem pendidikan lebih mengutamakan prestasi akademik daripada kesiapan dunia
- Menurut Jean Piagetdan *Lev Vygotsky , anak-anak
2. Keterbatasan Soft Skills: Pengaruh Teknologi Digital dan Media Sosial
- Teori: Teori Interaksi Sosial (Goffman, Mead)
- Gen Z, yang tumbuh dengan hadirnya internet dan media sosial, sering kali terbiasa berkomunikasi melalui pesan teks, media sosial, dan komunikasi virtual lainnya. Hal ini menyebabkan kurangnya keterampilan dalam berinteraksi secara langsung dalam kontek
- Erving Goffman dalam bukunya
3. Ketergantungan pada Kegiatan Ekstrakurikuler, Bukan Keterampilan Kerja Praktis
- Teori: Teori Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik (Deci & Ryan)
- Gen Z sering kali lebih tertarik pada kegiatan ekstrakurikuler yang memberikan penghargaan sosial, seperti kegiatan online atau event berbasis media sosial. Kegiatan ini memang dapat mengembangkan keterampilan sosial, namun sering kali tidak mengembangkan keterampilan yang diperlukan
- Deci dan Ryan dalam teori
Kurangnya Pengalaman Kerja yang Relevan dan Kesiapan Praktis
- Teori: Teori Perkembangan Karier (Super)
- Menurut Donald Super dari
- Tanpa pengalaman kerja yang relevan, Gen Z lebih sering menghadapi kesulitan dalam menghadapi tuntutan dunia kerja yang membutuhkan keterampilan praktis, seperti manajemen waktu, penyelesaian konflik, dan penyelesaian masalah yang kompleks.
5. Ketidakmampuan Menghadapi Umpan Balik dan Kritikan
- Teori: Teori Pembelajaran Sosial (Bandura)
- Albert Bandura dalam teori pembelajaran sosialnya menekankan pentingnya pengaruh observasi terhadap pembelajaran individu. Gen Z, yang seringkali menerima umpan balik dalam bentuk komentar online atau rating, mungkin kesulitan menerima umpan balik langsung yang konstruktif dalam konteks profesional.
- Di dunia digital, mereka terbiasa dengan feedback yang cepat dan sering kali berbentuk positif atau memuji. Ketika dihadapkan dengan kritik yang membangun di dunia kerja, mereka mungkin merasa cemas atau terhambat, yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk berkembang dan bersaing dengan baik.