Sibolga – Tapanuli Tengah – FillO News (30/11/2025) Bukan Lagi Soal Bertahan Hidup Sibolga — Tapanuli Tengah. Situasi pascabanjir dan longsor yang menimpa Sibolga dan Tapanuli Tengah tidak hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga memicu kekacauan sosial yang semakin hari semakin tidak terkendali. Apa yang awalnya disebut sebagai “aksi warga mengambil kebutuhan untuk bertahan hidup” kini berkembang menjadi gelombang penjarahan skala luas yang menyasar gudang, minimarket, hingga rumah-rumah pelaku usaha. Laporan resmi menyebut bahwa akses distribusi bantuan terhambat, listrik padam, dan jalur utama terputus total. Namun fakta lapangan menunjukkan dimensi berbeda — kondisi yang jauh lebih serius daripada yang digambarkan melalui pernyataan formal.
Di tengah situasi darurat pascabanjir dan longsor yang melanda kawasan Sibolga dan Tapteng, gelombang penjarahan yang semula terjadi pada gudang logistik dan minimarket kini dilaporkan meluas ke rumah-rumah warga serta tempat usaha. Sebelumnya, sejumlah pejabat pusat menyampaikan bahwa aksi warga di Sibolga “lebih kepada mengambil bahan makanan untuk bertahan hidup”. Namun fakta lapangan menunjukkan skala dan jenis barang yang dijarah melampaui kebutuhan dasar, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan memburuknya situasi keamanan.
Menurut laporan warga dan pelaku usaha setempat, penjarahan tidak hanya menyasar beras, mie instan, atau air mineral, tetapi juga berbagai barang bernilai tinggi seperti: pakaian dan tekstil, kosmetik, peralatan elektronik seperti laptop dan speaker, peralatan dapur, perlengkapan rumah tangga lainnya. Beberapa rumah pelaku usaha dilaporkan didatangi kelompok massa, dengan kondisi pintu dirusak dan isi rumah diangkut secara beramai-ramai. Korban yang kehilangan barang-barang usaha mengaku bingung karena aksi terjadi cepat dan aparat kewalahan membagi fokus antara evakuasi, pengamanan fasilitas publik, dan patroli permukiman.
Perlu dicatat, banyak barang yang dijarah bukan kategori kebutuhan mendesak, menunjukkan bahwa sebagian aksi telah bergeser dari “survival” menjadi tindakan kriminal murni. “Kalau itu kebutuhan makan, mungkin kita bisa maklumi. Ini malah laptop, speaker, kompor baru, kosmetik. Sudah tidak relevan lagi dengan alasan darurat,” ujar salah satu pelaku usaha yang menjadi korban. Fenomena ini menimbulkan keresahan di tengah warga yang tetap memilih bertahan di rumah untuk menjaga harta benda mereka karena takut aksi serupa terulang.
Di balik kekacauan ini, beberapa faktor masih menjadi sorotan: Bantuan logistik yang terlambat masuk akibat akses jalan rusak. Komunikasi dan listrik padam, membuat warga tidak mendapat informasi yang jelas tentang distribusi bantuan. Stres dan kecemasan berkepanjangan, mendorong sebagian warga bertindak ekstrem. Lemahnya pengamanan awal, baik di permukiman maupun usaha kecil. Namun bagaimanapun juga, alasan tersebut tidak membenarkan penjarahan yang telah merugikan warga lain yang juga sedang terdampak bencana.
Aksi penjarahan yang telah menyasar rumah warga ini berpotensi menimbulkan: trauma bagi korban, kerugian ekonomi yang besar, rusaknya kepercayaan antarwarga, efek domino: warga lain mulai meninggalkan rumah demi keselamatan, meninggalkan risiko penjarahan lebih lanjut. Jika tidak segera ditangani, situasi dapat berkembang menjadi krisis sosial yang lebih luas daripada sekadar krisis logistik.
Keamanan Harus Diprioritaskan Selain memastikan bantuan segera masuk, pemerintah daerah dan pusat perlu: melakukan pengamanan menyeluruh di permukiman dan sentra usaha, melakukan penegakan hukum tegas terhadap pelaku penjarahan non-logistik, membentuk posko terpadu pengawasan dan pengaduan, mempercepat pendistribusian bantuan untuk meredakan kepanikan, memastikan transparansi informasi agar warga tidak bergerak secara liar. (Win)

