Cerita Pendek
Jejak yang Tak Terlihat
oleh Erwinsyah Putra
Di tengah kota yang penuh kesibukan dan hiruk-pikuk manusia, ada sebuah jalur kecil yang tak pernah diperhatikan siapa pun. Itu bukan gang sempit yang mencurigakan, bukan pula jalan rahasia yang terselip di antara bangunan tua. Jalur itu ada, tapi mata manusia enggan melihatnya.
Malam itu, Cahya
melihatnya.
Ia baru saja pulang
dari toko buku tempatnya bekerja, berjalan menyusuri trotoar yang biasa ia
lewati setiap hari. Hujan rintik turun, membasahi jalanan, menciptakan pantulan
cahaya dari lampu jalan yang berpendar keemasan. Saat itulah ia melihat jalur
itu.
Jalur itu
membentang lurus di antara dua bangunan tua, tampak biasa saja—kecuali satu
hal: Cahya yakin betul bahwa jalur itu tidak pernah ada sebelumnya.
Dibimbing oleh rasa
ingin tahu yang tak tertahankan, ia melangkah masuk.
***
Langkah pertama
terasa biasa. Langkah kedua pun masih normal. Namun, pada langkah ketiga, dunia
di sekitarnya berubah.
Udara mendadak
lebih berat, seperti ada sesuatu yang tak kasatmata menekan dari segala arah.
Cahaya lampu jalan di luar jalur itu meredup, seolah ia telah melangkah ke
dalam sebuah dimensi yang lebih dalam dari sekadar bayangan.
Langkah keempat.
Langkah kelima.
Bangunan di
sekitarnya perlahan berubah. Catnya pudar, retakan muncul di dinding-dinding
tua yang sebelumnya tampak kokoh. Seperti film yang dipercepat, gedung-gedung
itu berangsur-angsur menua, dimakan waktu.
Langkah keenam.
Cahya berhenti. Di
hadapannya, ada sebuah bangku kayu. Dan di bangku itu, seseorang sedang duduk—
Dirinya sendiri.
***
Cahya menatap sosok
di depannya. Itu dirinya, tidak salah lagi. Wajah yang sama, pakaian yang sama,
bahkan luka kecil di tangan kirinya yang baru didapatnya siang tadi juga ada.
"Siapa
kau?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Dirinya yang lain
tersenyum tipis, menutup sebuah buku usang yang sedang dibacanya. "Aku
seseorang yang pernah berjalan di jalur ini."
Cahya mengernyit.
"Aku juga sedang berjalan di jalur ini."
"Ya."
Sosok itu menepuk-nepuk buku yang ada di pangkuannya. "Maka sebentar lagi
kau akan tahu."
Ia ingin bertanya
lebih banyak, tetapi langkah kakinya seperti bergerak sendiri.
Langkah ketujuh.
Langkah kedelapan.
Dan di langkah
kesembilan, ia melihat sesuatu yang lebih aneh.
Di depannya, ada
dirinya lagi—tapi kali ini lebih tua. Rambutnya beruban, garis-garis halus
menghiasi wajahnya.
"Berapa lama
aku berjalan?" tanya Cahya dengan suara lebih lirih.
Dirinya yang lebih
tua hanya menatapnya dengan mata penuh rahasia. "Itu tergantung."
"Tergantung
apa?"
"Tergantung
seberapa jauh kau ingin pergi."
***
Cahya menoleh ke
belakang, tapi jalur itu sudah tidak ada. Yang ada hanya kegelapan tak
berujung.
Pilihan
satu-satunya adalah terus maju.
Langkah kesepuluh
membawanya ke dunia yang sepenuhnya berbeda. Gedung-gedung telah menghilang,
digantikan oleh hamparan pasir putih yang luas. Langit di atasnya tidak lagi
berwarna biru, melainkan keunguan dengan bintang-bintang yang berputar
perlahan, seolah menari mengikuti ritme yang tak terdengar.
Di tengah lautan
pasir itu, seseorang berdiri menunggunya.
Sosok tanpa wajah.
Tubuhnya tertutup
jubah hitam panjang yang berkibar lembut ditiup angin yang tidak terasa.
Tangannya terulur ke arah Cahya.
Cahya merasa ada
sesuatu di dalam dirinya yang bergetar. Seolah sosok itu bukanlah asing
baginya. Seolah ia telah mengenalnya sejak lama, lebih lama dari ingatannya
sendiri.
"Siapa
kau?" Cahya bertanya dengan suara bergetar.
Sosok itu tidak
menjawab. Hanya tetap berdiri di sana, tangannya tetap terulur, menunggu.
Cahya sadar bahwa
ia bisa memilih.
Ia bisa mengambil
tangan itu, atau mencoba mencari jalan kembali. Namun, saat ia menoleh ke
belakang, jalur itu sudah benar-benar hilang.
Ia hanya bisa
melangkah maju.
Dan ia pun
melangkah.
Cahya
mengambil langkah pertama ke arah sosok berjubah hitam. Saat kakinya menyentuh
pasir, sesuatu yang aneh terjadi. Tubuhnya terasa lebih ringan, seakan
gravitasi di tempat ini tidak bekerja seperti biasa. Angin berputar di sekelilingnya,
membawa bisikan-bisikan halus yang tidak dapat ia pahami.
Sosok berjubah itu tetap diam,
tangannya masih terulur. Cahya ragu sejenak, lalu mengulurkan tangannya
sendiri. Begitu jari-jarinya menyentuh tangan sosok itu, dunia di sekitarnya
berubah dalam sekejap.
Pasir putih menghilang. Langit
keunguan memudar. Cahya kini berdiri di depan sebuah gerbang raksasa yang
terbuat dari logam hitam, dihiasi simbol-simbol aneh yang berpendar redup.
Sosok berjubah itu akhirnya
berbicara, suaranya seperti bergema dari segala arah.
"Kau telah
melangkah terlalu jauh. Tidak ada jalan kembali."
Cahya menelan ludah. Ia tidak tahu
apakah itu peringatan atau pernyataan. Namun, entah mengapa, ia tidak takut.
Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin mengetahui apa yang ada di balik gerbang
ini.
"Pilihlah."
Sosok itu menunjuk ke dua ukiran di
gerbang. Yang pertama menggambarkan seorang pria yang berjalan menembus kabut,
dengan sosok-sosok bayangan yang mengikutinya. Yang kedua menunjukkan seorang
wanita yang duduk di kursi, dengan buku terbuka di pangkuannya, dikelilingi
cahaya yang bersinar lembut.
Cahya merasakan jantungnya berdetak
lebih cepat. Ia tahu, keputusannya akan menentukan ke mana jalur ini akan
membawanya selanjutnya.
Ia mengangkat tangannya, lalu…
***
Cahya
menatap dua ukiran di gerbang hitam itu. Jantungnya berdegup kencang, seolah
tubuhnya tahu bahwa pilihan ini lebih dari sekadar keputusan biasa. Ini bukan
hanya tentang jalur yang ia tempuh, tetapi tentang siapa dirinya.
Dengan napas tertahan, ia mengangkat
tangannya dan menyentuh ukiran pria yang berjalan menembus kabut.
Gerbang bergetar. Udara di sekitar
Cahya berubah, menjadi lebih dingin, lebih berat. Ukiran itu bersinar sebentar
sebelum meredup, lalu pintu raksasa itu mulai terbuka dengan suara gemuruh.
Dari celah yang terbentuk, Cahya
bisa melihat kabut tebal di sisi lain. Tidak ada tanah, tidak ada langit, hanya
kabut yang menyelimuti semuanya. Saat pintu terbuka sepenuhnya, angin dingin
bertiup dari dalam, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang tidak bisa ia kenali—sesuatu
yang asing dan kuno.
Sosok berjubah hitam itu melangkah
mundur, membiarkan Cahya berjalan masuk.
Tanpa pilihan lain, Cahya mengambil
langkah pertamanya ke dalam kabut.
***
Langkah
pertama terasa seperti melangkah ke dalam air. Udara di sekelilingnya begitu
tebal sehingga setiap gerakan terasa lambat. Cahya mencoba melihat ke depan,
tapi yang terlihat hanya kabut tak berujung.
Langkah kedua.
Bisikan-bisikan mulai terdengar,
semakin jelas. Kata-katanya tidak bisa ia pahami, tetapi ada nada yang
terdengar familiar—seperti suara-suara dari masa lalu, kenangan yang hampir
terlupakan.
Langkah ketiga.
Siluet mulai muncul di
sekelilingnya. Samar-samar, seperti bayangan yang bergerak di balik tirai.
Cahya bisa merasakan mata mereka menatapnya, meskipun tidak ada wajah yang bisa
ia lihat.
Langkah keempat.
Salah satu bayangan bergerak lebih
dekat. Dari balik kabut, sesosok pria muncul. Cahya terdiam. Ia mengenali wajah
itu.
Itu adalah ayahnya.
Tetapi, itu tidak mungkin. Ayahnya
telah meninggal bertahun-tahun yang lalu.
"Pa…?" Cahya berbisik,
keraguan dan ketakutan bercampur di dalam dirinya.
Sosok itu tersenyum, tetapi ada
sesuatu yang salah. Matanya kosong, bibirnya bergerak tetapi tidak mengeluarkan
suara. Ia melangkah lebih dekat, tangannya terulur, seolah meminta Cahya untuk
mengikutinya.
Cahya mundur selangkah.
"Apa kau benar-benar
ayahku?" tanyanya, suaranya bergetar.
Sosok itu berhenti. Senyum di wajahnya
perlahan memudar, berubah menjadi ekspresi kosong yang dingin. Lalu, tubuhnya
mulai bergetar dan terdistorsi, seperti gambar di layar televisi yang terganggu
sinyalnya.
Dan kemudian, dengan suara mendesis,
sosok itu menghilang kembali ke dalam kabut.
Cahya menelan ludah. Ia tidak tahu
apakah itu benar-benar ayahnya atau hanya bayangan yang diciptakan oleh jalur
ini.
Tapi satu hal yang pasti: jalur ini
sedang mengujinya.
Dan ia belum tahu seberapa jauh lagi
ia harus berjalan.
***
Cahya
berdiri diam di tengah kabut, napasnya berat. Bayangan-bayangan lain masih
bergerak di sekitarnya, berbisik dalam bahasa yang tak ia pahami. Dadanya
terasa sesak, tetapi ia tahu satu hal: ia tidak boleh berhenti.
Langkah kelima.
Tiba-tiba, suara lain
terdengar—lebih jelas, lebih nyata. Itu bukan bisikan, melainkan suara seorang
perempuan, memanggil namanya.
"Cahya…"
Ia menoleh ke kanan. Tidak ada
apa-apa selain kabut.
"Cahya…"
Suara itu terdengar lagi, kali ini
lebih dekat. Ia mengenali suara itu. Jantungnya berdegup lebih cepat. Itu
suara… ibunya.
"Tolong…"
Cahya mengerjap. Ia tahu betul
ibunya masih hidup, masih menunggunya di rumah. Tetapi suara itu terdengar
begitu nyata, begitu putus asa.
Langkah keenam.
Dari balik kabut, sesosok perempuan
muncul. Cahya menahan napas. Itu ibunya—atau sesuatu yang menyerupai ibunya.
Wajahnya penuh kesedihan, matanya memancarkan ketakutan.
"Cahya, tolong aku…"
katanya lagi, suaranya hampir bergetar.
Cahya ragu. Ia ingin berlari ke
arahnya, ingin memastikan bahwa itu benar-benar ibunya. Tetapi di dalam
hatinya, sesuatu memperingatkan bahwa ini adalah ujian lain.
"Mama?"
Perempuan itu menatapnya, lalu
tersenyum tipis. Cahya merasa ada sesuatu yang salah dalam senyuman itu.
Seketika, tangannya mencengkeram
pergelangan Cahya. Cengkeramannya dingin, terlalu kuat untuk seorang wanita
seusia ibunya.
"Tetaplah di sini, Cahya…"
bisiknya.
Cahya tersentak. Ia mencoba menarik
tangannya, tetapi perempuan itu tidak melepaskannya.
"Lepaskan aku!" serunya.
Wajah perempuan itu berubah.
Kulitnya mulai retak seperti porselen yang pecah, matanya menjadi hitam legam.
Cahya mengerahkan seluruh
kekuatannya dan menarik tangannya dengan sekuat tenaga. Tubuh perempuan itu
mulai mencair, seperti bayangan yang kehilangan bentuknya. Dalam hitungan
detik, ia menghilang kembali ke dalam kabut.
Cahya terengah-engah. Kakinya
gemetar, tetapi ia tahu ia tidak bisa berhenti.
Langkah ketujuh.
***
Kabut mulai menipis. Cahya bisa
melihat sesuatu di kejauhan—dua jalan yang bercabang.
Di sisi kiri, jalur itu tampak
redup, seperti jalan setapak di hutan yang lama tidak dilalui orang.
Ranting-ranting kering menutupi tanahnya, dan udara di sana terasa dingin,
seperti musim dingin yang membekukan.
Di sisi kanan, jalur itu terang,
dipenuhi sinar keemasan seperti matahari pagi. Ada suara-suara tawa, suara
burung berkicau, dan aroma yang mengingatkannya pada rumah.
Dua jalan. Dua pilihan.
Cahya menatapnya lama.
Jalan yang gelap terasa berbahaya,
tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa jalur itulah yang harus ia lalui. Jalan
yang terang terlalu sempurna—terlalu indah untuk menjadi nyata.
Tetapi, apakah ia berani memilih
jalur yang gelap?
Tiba-tiba, ia mendengar suara
lain—suara langkah kaki mendekat dari belakang.
Ia menoleh.
Dan di sana, berdiri seseorang yang
tidak ia duga akan ia temui.
Dirinya sendiri.
Tetapi kali ini, lebih tua.
***
Cahya menatap sosok itu dengan
hati-hati. Wajahnya sedikit lebih keras, matanya lebih tajam, seolah telah
melalui banyak hal.
"Kau sampai di sini juga,"
kata sosok itu dengan suara yang mirip dengannya, tetapi lebih dalam.
"Apa yang terjadi jika aku
memilih jalan yang salah?" Cahya bertanya.
Sosok itu tersenyum tipis.
"Tidak ada jalan yang salah. Hanya jalan yang mengubahmu dengan cara
berbeda."
Cahya terdiam.
"Jika kau memilih jalan yang
terang, kau akan kembali ke kehidupan lamamu. Tidak akan ada yang berubah.
Semua akan tetap sama."
"Dan jalan yang gelap?"
Sosok itu menatapnya dalam-dalam.
"Kau akan menemukan kebenaran. Tetapi kebenaran itu tidak akan
mudah."
Cahya menghela napas. Ia menatap
kedua jalan itu sekali lagi.
Ia tahu jawabannya.
Dengan langkah pasti, ia melangkah
ke jalan yang gelap.
Dan dunia pun berubah sekali lagi.
***
Begitu
Cahya melangkah ke jalan gelap, udara di sekitarnya berubah. Dingin merayap ke
dalam tulangnya, seperti es yang menyelinap di bawah kulit. Hutan di
sekelilingnya menjadi lebih pekat, pohon-pohon menjulang tinggi dengan cabang-cabang
seperti tangan yang mencoba meraih sesuatu.
Langkahnya semakin berat,
seakan-akan tanah di bawahnya ingin menahannya. Tetapi Cahya tidak berhenti.
Di kejauhan, samar-samar, terdengar
suara berbisik. Kali ini bukan suara asing. Ia mengenali suara itu.
Suaranya sendiri.
"Kau tidak seharusnya ada di
sini…" bisik suara itu, menggema di antara pepohonan.
Cahya menelan ludah. Bayangannya
yang tadi berdiri di persimpangan kini muncul lagi di depannya, tetapi kali ini
wajahnya lebih pucat, matanya kosong seperti kaca.
"Kau seharusnya memilih jalan
yang terang," kata bayangan itu.
"Tapi aku ingin tahu
kebenaran," Cahya menjawab.
Bayangan itu tertawa pelan, tetapi
suaranya dingin, tanpa emosi. "Kebenaran tidak selalu yang terbaik, Cahya.
Terkadang, yang kita butuhkan adalah kebohongan yang indah."
Cahya menggenggam tangannya erat. Ia
tidak akan mundur.
"Aku ingin melihat sendiri,
bukan hanya mendengar peringatan."
Bayangan itu tersenyum. "Kalau
begitu, bersiaplah."
Seketika, hutan di sekelilingnya
bergetar. Tanah retak, udara menjadi lebih dingin. Dari dalam bayangan, sesuatu
mulai muncul—sosok tinggi, tanpa wajah, dengan tangan panjang yang melayang di
udara.
Cahya mundur selangkah.
Makhluk itu tidak bergerak, tetapi
ia bisa merasakan kehadirannya yang menekan, seperti beban di dadanya.
Lalu, makhluk itu berbicara.
"Bukankah lebih baik jika kau
tidak pernah tahu?"
Suaranya bukan hanya satu, tetapi
banyak—tumpang tindih, seperti suara dari berbagai versi dirinya.
Cahya menutup telinganya, tetapi
suara itu tetap ada di kepalanya.
"Lupakan. Kembalilah."
Cahya menggigit bibirnya. Ia tahu
ini ujian. Jika ia menyerah sekarang, ia tidak akan pernah sampai ke akhir.
Dengan napas berat, ia mengangkat
wajahnya dan menatap makhluk itu.
"Aku tidak akan kembali."
Tiba-tiba, makhluk itu bergerak.
Bayangan panjangnya melesat ke
arahnya, membelit tubuhnya seperti kabut yang hidup. Dingin merayap ke
kulitnya, dan untuk sesaat, ia merasa tubuhnya menghilang—seolah-olah dirinya
ditelan oleh kegelapan.
Tetapi Cahya tetap bertahan. Ia
menutup matanya, fokus pada satu hal: kebenaran yang ia cari.
Dan dalam sekejap, semuanya berubah.
***
Saat
Cahya membuka matanya, ia tidak lagi berada di hutan.
Ia berdiri di dalam sebuah ruangan
besar, dipenuhi dengan cermin.
Di setiap cermin, ada refleksi
dirinya—tetapi semuanya berbeda. Ada yang lebih tua, ada yang lebih muda, ada
yang terlihat penuh amarah, ada yang terlihat hampa.
Di tengah ruangan, ada sebuah kursi.
Dan di kursi itu, duduk seseorang.
Cahya menahan napas. Itu dirinya
sendiri, tetapi lebih tua. Wajahnya tampak letih, dengan mata yang menyimpan
beban bertahun-tahun.
"Akhirnya kau sampai di
sini," kata sosok itu.
Cahya melangkah maju. "Apa
tempat ini?"
"Ini adalah jawaban yang kau
cari," kata sosok itu. "Ini adalah tempat di mana kau akan mengetahui
siapa dirimu sebenarnya."
Cahya menelan ludah. Ia sudah
melalui banyak hal untuk sampai ke sini.
Sekarang, ia harus siap menghadapi
apa pun yang akan ia temukan.
Dan ia bertanya:
"Siapa
aku sebenarnya?"
***
Cahya
menatap sosok di kursi itu, hatinya berdebar kencang. Ia merasa seperti melihat
refleksi yang bukan sekadar pantulan, melainkan sesuatu yang lebih dalam—lebih
nyata.
"Apa maksudmu?" Cahya
bertanya, suaranya nyaris berbisik.
Sosok itu tidak langsung menjawab.
Ia menghela napas, lalu mengangkat tangannya ke arah salah satu cermin di
ruangan itu. Cahya mengikutinya dengan tatapan penuh kewaspadaan.
Perlahan, bayangan di cermin mulai
bergerak sendiri.
Itu adalah dirinya—tetapi berbeda.
Sosok dalam cermin tampak lebih bahagia, lebih ringan, seperti seseorang yang
tidak pernah menanggung beban apa pun. Cahya bisa melihatnya tersenyum,
tertawa, menjalani kehidupan yang tampak sempurna.
"Itu bisa menjadi dirimu,"
kata sosok di kursi.
Cahya mengernyit. "Apa
maksudmu?"
"Jika kau memilih untuk tidak
berjalan di jalur ini… jika kau memilih jalan lain… hidupmu akan seperti
itu."
Cahya menatap cermin itu lebih lama.
Itu memang dirinya, tetapi terasa asing. Apakah benar ia bisa menjadi orang
yang seperti itu jika ia mengambil pilihan berbeda?
"Tapi aku tidak memilih jalan
itu," kata Cahya pelan.
Sosok itu mengangguk. "Dan
karena itu, kau berada di sini."
Dengan gerakan ringan, ia
melambaikan tangannya, dan cermin di sampingnya berubah lagi. Kali ini, Cahya
melihat sesuatu yang lebih mengerikan.
Dirinya sendiri, tetapi penuh luka,
mata kosong tanpa kehidupan. Suara jeritan terdengar samar dari cermin itu.
"Dan itu juga bisa menjadi
dirimu," kata sosok di kursi. "Jika kau terus berjalan tanpa
mengetahui apa yang menunggumu."
Cahya merasa tenggorokannya
mengering.
"Jadi apa yang harus
kulakukan?" tanyanya.
Sosok itu tersenyum samar.
"Jawaban itu bukan dariku. Kau harus menemukannya sendiri."
Cahya menatap sekeliling ruangan,
mencoba memahami situasi ini. Setiap cermin menunjukkan kemungkinan berbeda tentang
dirinya—kehidupan yang bisa ia jalani, jalan yang bisa ia ambil, pilihan yang
bisa ia buat.
Tapi hanya satu yang nyata.
Dan hanya satu jalan yang bisa ia
pilih.
Dengan napas berat, Cahya menutup
matanya.
Saat ia membukanya lagi, ruangan itu
berubah.
Kini, hanya ada satu cermin di
depannya.
Dan di dalamnya, hanya ada
dirinya—tanpa perbedaan, tanpa kemungkinan lain.
Hanya Cahya yang sejati.
Ia melangkah mendekat.
Dan ketika ia menyentuh permukaan
cermin itu, segalanya berubah.
***
Ketika
Cahya menarik napas lagi, ia sudah berdiri di sebuah lorong yang panjang.
Di ujungnya, ada sebuah pintu kayu.
Tanpa ragu, ia melangkah maju.
Setiap langkahnya terasa ringan,
seolah beban yang ia rasakan sejak awal telah hilang. Ia tidak tahu apakah ia
telah menemukan jawabannya atau apakah ia masih dalam perjalanan menuju
kebenaran yang lebih besar.
Tetapi satu hal yang pasti:
Ia tidak akan berhenti.
Dan saat tangannya menyentuh
pegangan pintu, dunia di sekelilingnya mulai bergetar.
Pintu itu terbuka.
Dan Cahya melangkah masuk.
***
Begitu
Cahya melangkah melewati pintu kayu itu, ia tidak lagi berada di lorong.
Dunia di sekelilingnya berubah
menjadi sebuah hamparan luas dengan langit yang seperti kanvas
bergerak—warnanya terus berubah, dari ungu tua ke biru kehijauan, lalu ke jingga
keemasan. Bentangan daratan di bawahnya pun bukan tanah biasa, melainkan
seperti lembaran kaca yang memantulkan bayangan langit dengan kejelasan luar
biasa.
Di kejauhan, sosok-sosok mulai
muncul.
Mereka tinggi, jauh lebih tinggi
dari manusia biasa, dengan tubuh yang setengah transparan seperti kabut pekat
yang terjalin bersama cahaya bintang. Wajah mereka samar, berubah-ubah seperti
wajah-wajah yang pernah dilihat Cahya dalam hidupnya—beberapa terasa asing,
beberapa tampak familiar.
Mereka adalah Para
Penjaga Dimensi.
Salah satu dari mereka mendekat.
Cahya bisa merasakan udara di sekelilingnya bergetar, bukan oleh suara,
melainkan oleh getaran energi yang menggema langsung di dalam pikirannya.
"Kau
telah melangkah terlalu jauh, Pelancong."
Cahya menelan ludah. "Aku… aku
tidak mengerti."
Sosok itu menundukkan kepalanya,
lalu dalam sekejap, tubuhnya berubah menjadi ratusan kupu-kupu hitam yang
beterbangan mengitari Cahya sebelum kembali menyatu di sisi lain.
"Semua
yang berjalan di jalur ini harus memilih nasibnya. Kau telah melihat dirimu
sendiri dalam berbagai bentuk, dan sekarang kau akan bertemu mereka yang berada
di luar dirimu."
Cahya mengernyit.
"Mereka?"
Sosok lainnya, yang memiliki mata
berwarna perak menyala, mengangkat tangannya.
Langit di atas mereka bergetar, dan
dari celah-celah di antara warna-warna yang terus berubah, muncul
bayangan-bayangan raksasa yang tak berbentuk. Mereka melayang seperti arwah
yang mencari tubuh, tubuh mereka bergelombang seperti asap namun sesekali
membentuk wajah-wajah yang menatap Cahya dengan ekspresi kosong.
"Mereka
yang tersesat di jalur ini, yang tidak pernah bisa memilih jalan mereka."
Cahya bergidik. Beberapa dari
bayangan itu memiliki wajahnya. Beberapa lagi tampak seperti orang-orang yang
pernah ia kenal, tetapi dengan mata kosong dan bibir yang tidak bergerak.
Salah satu dari mereka merangkak
mendekat, lengannya yang panjang dan kurus merentang ke arahnya.
"Bantu
kami…" suara
itu terdengar seperti bisikan ribuan orang yang berbicara dalam waktu yang
sama.
Cahya mundur selangkah, tapi Para
Penjaga hanya berdiri diam, mengawasi.
"Apa yang terjadi pada
mereka?" tanya Cahya dengan suara gemetar.
Sosok bermata perak menoleh padanya.
"Mereka
ragu. Mereka berjalan tanpa tujuan. Mereka tidak pernah memilih."
Bayangan itu kini semakin dekat.
Cahya bisa merasakan dinginnya,
seperti sentuhan udara yang telah kehilangan kehangatan dunia. Jika ia diam
saja, bayangan itu akan menyelimutinya, menyerapnya, mengubahnya menjadi salah
satu dari mereka—salah satu jiwa yang tersesat.
Tidak.
Ia tidak bisa membiarkan itu
terjadi.
Dengan gemetar, Cahya menatap Para
Penjaga Dimensi. "Lalu apa pilihanku?"
Mata perak itu kembali bersinar.
"Lihat
ke dalam dirimu. Lihat ke dalam jalur yang kau tempuh. Pilihlah apa yang kau
cari."
Dan di saat itu, Cahya mendengar
suara.
Bukan dari luar. Bukan dari Para
Penjaga.
Tetapi dari dalam dirinya sendiri.
***
Dari
dalam jiwanya, sebuah suara berbisik.
"Kau
sudah tahu jawabannya."
Cahya mengerjap. Suara itu terasa
akrab, seperti suara yang selalu ada di dalam pikirannya, tetapi tak pernah ia
sadari sebelumnya.
Dan saat ia melihat ke arah bayangan
yang hampir menyentuhnya, ia sadar sesuatu.
Bayangan itu bukanlah sesuatu dari
luar dirinya.
Bayangan itu adalah ketakutannya.
Keraguan yang selama ini ia simpan.
Perasaan bahwa ia tidak pernah
cukup. Bahwa ia tidak pernah benar-benar memahami siapa dirinya.
Cahya mengepalkan tangannya.
"Pergi," katanya pelan.
Bayangan itu berhenti.
"Pergi!" katanya lebih
keras.
Dan tiba-tiba, seperti kabut yang
tertiup angin kencang, bayangan itu mulai menghilang.
Suara ribuan bisikan lenyap.
Langit di atasnya berhenti bergetar.
Para Penjaga Dimensi menundukkan
kepala mereka.
Sosok bermata perak tersenyum tipis.
"Kau
telah memilih."
Dan saat itu, sebuah pintu baru
muncul di hadapannya.
Terbuat dari cahaya, berpendar
lembut seperti bintang yang berkedip di kegelapan malam.
Cahya menarik napas dalam-dalam.
Di balik pintu itu, ada jawabannya.
Apa pun itu.
Tanpa ragu, ia melangkah maju.
Dan segalanya pun berubah.
***
Cahya
melangkah melewati pintu cahaya dengan hati berdebar. Seluruh tubuhnya terasa
ringan, seakan gravitasi tidak lagi menariknya. Dunia di sekelilingnya
berpendar, berpusing seperti pusaran air, hingga segalanya larut dalam putih
yang membutakan.
Lalu—
Angin sore menerpa wajahnya.
Bau hujan di aspal.
Langit abu-abu.
Cahya berdiri di jalan yang sama, di
titik yang sama saat semua ini dimulai.
Ia mengedipkan mata. Jantungnya
berdegup kencang.
Toko kelontong di ujung jalan masih
ada. Suara motor menderu lewat di kejauhan. Langkah kakinya masih berada di
trotoar yang retak, dengan rumput kecil tumbuh di sela-selanya.
Ia meraba tasnya dengan panik.
Masih di sana.
Plastik bening yang sedikit berembun.
Dua potong goreng pisang di dalamnya.
Masih hangat.
Tangannya gemetar. Itu tidak masuk
akal. Ia telah menghabiskan berbulan-bulan di dunia lain. Berjalan melintasi
dimensi yang tak ia pahami, bertemu dengan makhluk-makhluk yang seharusnya tak
ada. Namun, bagi dunia ini, seakan semuanya hanya terjadi dalam sekejap.
Cahya menarik napas dalam-dalam.
Ia melihat ke sekeliling. Tidak ada
yang berubah. Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang berbeda.
Ia tidak lagi sama.
***
Cahya
mulai berjalan, mencoba mencari tanda-tanda bahwa apa yang ia alami benar-benar
terjadi.
Ia melewati seorang ibu yang sedang
menggendong anaknya—wajahnya samar-samar familiar, seolah Cahya pernah
melihatnya dalam bentuk lain di dimensi lain.
Seorang pria tua duduk di bangku
taman, membaca koran. Cahya bisa melihat sepasang matanya yang abu-abu
berkilat, seperti mata Perak yang dulu membimbingnya.
Dan di etalase sebuah toko, ia
melihat pantulan dirinya sendiri.
Ia terlihat sama. Tapi matanya…
Matanya tidak lagi kosong seperti
dulu.
Dulu, ia berjalan tanpa arah. Ia
tidak tahu apa yang ia cari, atau bahkan siapa dirinya. Ia ragu, ia takut, ia
menghindari keputusan.
Sekarang, ia tahu.
Semua perjalanan itu bukanlah
kebetulan. Itu adalah cermin, menghadapkan dirinya pada segala ketakutan yang
selama ini ia tolak untuk hadapi.
Ia menatap goreng pisang di
tangannya, lalu tersenyum kecil.
Lapar.
Dengan tenang, ia menggigit goreng
pisang yang masih hangat.
Dan untuk pertama kalinya setelah
sekian lama, ia merasa… utuh.
***
Cahya
mengunyah goreng pisang perlahan, merasakan kerenyahannya di lidah. Udara sore
masih mengandung sisa hujan, membuat trotoar sedikit licin. Ia melanjutkan
langkahnya, berjalan menyusuri jalan yang sama seperti biasa, tetapi ada
sesuatu yang terasa berbeda.
Semua terasa lebih… nyata.
Setiap detil lebih tajam. Cahaya
lampu jalan memantulkan kilau keemasan pada genangan air, dan ia bisa melihat
bayangannya di sana, berkedip menatap dirinya sendiri. Suara kendaraan tidak
lagi samar di latar belakang—ia bisa mendengar dengung mesinnya, bunyi klakson
yang menggema, bahkan suara gesekan ban dengan aspal yang basah.
Orang-orang berlalu-lalang seperti
biasa. Seorang wanita muda berbicara di telepon dengan ekspresi cemas. Seorang
pria tua dengan kantong plastik berisi sayuran berjalan tertatih melewatinya.
Namun, sesuatu terasa… aneh.
Ia mencoba mengabaikan perasaan itu
dan terus berjalan.
Toko kelontong masih di sana. Warung
bakso di seberang jalan masih mengeluarkan uap hangat dari mangkuk-mangkuk yang
tersaji. Semua sama.
Tapi kenapa rasanya seperti ada yang
mengawasi?
Cahya berhenti di depan jendela toko
buku tempatnya bekerja. Refleksi di kaca memperlihatkan dirinya dengan
jelas—terlalu jelas.
Setiap helai rambutnya terlihat.
Kedipan matanya lambat, seperti direkam dalam gerakan lambat.
Ia menelan ludah.
Lalu, seseorang lewat di belakangnya
dalam pantulan itu—tapi saat ia menoleh…
Tidak ada siapa-siapa.
***
Saat
Cahya masuk ke dalam toko buku, lonceng di atas pintu berdenting pelan. Bau
buku tua menyambutnya, menenangkan, tetapi juga membuat perutnya sedikit mual,
seperti ia pernah mengalami ini sebelumnya—berulang kali.
"Kamu telat, Cahya," suara
seseorang menyapa dari belakang meja kasir.
Cahya menoleh. Itu Sari, rekan
kerjanya.
Sari mengikat rambutnya ke belakang
seperti biasa, tetapi ada sesuatu di matanya yang berbeda. Cahya tidak tahu apa
itu, hanya saja… ia merasa Sari tahu sesuatu.
"Tidak, aku… tidak merasa
telat," Cahya menjawab ragu.
Sari hanya menatapnya, lalu
tersenyum samar. "Ya, mungkin kamu benar."
Cahya berjalan ke rak-rak buku,
mencoba mengalihkan pikirannya. Tapi saat ia melewati seorang pelanggan, ia
mendengar sesuatu yang membuatnya merinding.
"…Dia sudah kembali,"
bisik seorang pria paruh baya yang sedang membaca.
Cahya berhenti.
Pria itu tetap membaca, seolah tidak
pernah berbicara.
"Tadi bapak bilang apa?"
Cahya bertanya.
Pria itu menatapnya, bingung.
"Saya tidak bilang apa-apa."
Cahya menelan ludah. Ia melanjutkan
pekerjaannya, tetapi sekarang, setiap suara terasa seperti bisikan yang
ditujukan padanya.
***
Malam
semakin larut saat Cahya berjalan pulang. Jalanan sepi, hanya suara sepatu dan
napasnya yang terdengar.
Ia ingin pulang.
Tapi ke mana?
Apartemennya masih ada, bukan? Masih
di lantai tiga dengan jendela kecil yang menghadap ke jalan utama?
Tapi kenapa ia ragu?
Ia berhenti di bawah lampu jalan,
membuka tasnya.
Goreng pisang itu…
Masih hangat.
Seharusnya sudah dingin, setidaknya
setelah berjam-jam. Tapi tidak. Seperti waktu berhenti untuknya.
Atau…
Seperti ia masih terjebak di tempat
lain.
Di dunia yang tampak nyata.
Terlalu nyata.
Dan yang paling mengerikan adalah—
Apa yang akan terjadi jika ia
benar-benar menyadari di mana ia berada?
***
Cahya
menggenggam goreng pisang itu lebih erat, merasakan hangatnya seolah ia sedang
memegang sesuatu yang bukan sekadar makanan, tapi bukti bahwa ada yang tidak
beres.
Ia menarik napas dalam. Jalanan
lengang, angin malam menyelinap di sela-sela dedaunan, menciptakan suara
gemerisik yang biasanya tidak ia pedulikan. Tapi kini, setiap bunyi terdengar
terlalu jelas.
Sepatu yang menyentuh aspal.
Detak jantungnya sendiri.
Dan… sesuatu yang lain.
Sesuatu yang tidak berbunyi, tetapi
ia bisa merasakannya.
Ada kehadiran.
Ia tidak menoleh, tidak ingin
melihat. Tapi dari sudut matanya, bayangan itu ada. Sesuatu yang berdiri di
seberang jalan, diam, tak bergerak, seperti patung yang menunggu sesuatu.
Cahya melangkah lebih cepat.
Bayangan itu masih di sana.
Ia tahu.
Ia tahu bahwa jika ia menoleh
langsung… sesuatu akan berubah.
Tapi bukankah itu yang selalu
terjadi?
Bahwa dunia ini, meskipun tampak
nyata, sebenarnya hanyalah lapisan lain dari sesuatu yang lebih besar?
***
Akhirnya,
apartemennya muncul dalam pandangan. Lantai tiga, jendela kecil yang menghadap
ke jalan. Lampunya menyala, seperti biasa.
Seharusnya tidak ada yang aneh.
Tapi… lampunya menyala.
Siapa yang menyalakannya?
Ia tidak tinggal bersama siapa pun.
Langkahnya melambat. Ia mendongak,
menatap jendela itu lebih lama dari yang seharusnya.
Bayangan bergerak di dalam.
Dadanya mengencang. Itu tidak
mungkin.
Atau mungkin… itu adalah sesuatu
yang selama ini sudah menunggu?
Cahya menggenggam kunci apartemennya
erat-erat, tangannya sedikit gemetar.
Ia bisa pergi.
Ia bisa berbalik dan tidak pernah
kembali ke sini.
Tapi ia tahu, bahkan jika ia lari
sejauh apa pun… dunia ini tidak akan melepaskannya begitu saja.
Jadi ia melangkah masuk.
Dan pintu apartemennya terbuka…
sebelum ia sempat memutarnya.
***
Cahya
melangkah masuk.
Ruangan apartemennya terasa… biasa.
Bau kopi sisa pagi tadi masih mengambang di udara. Meja kayu kecil di sudut
masih berserakan dengan buku-buku yang belum sempat ia baca. Jaket yang ia
lempar sembarangan tadi pagi masih tergeletak di sofa.
Tapi ada sesuatu yang berbeda.
Ia tahu ada yang menunggunya.
Dan benar saja.
Di kursi dekat jendela, duduklah seseorang.
Dirinya sendiri.
Bukan pantulan cermin, bukan ilusi.
Cahya yang lain itu menatapnya dengan ekspresi tenang, kakinya disilangkan,
seolah kehadirannya di sana adalah hal yang paling wajar di dunia.
"Sudah kembali?" Cahya
yang duduk itu bertanya.
Ia ingin menyangkal. Ingin bertanya
siapa makhluk di depannya ini, atau bagaimana ia bisa ada di sini. Tapi suara
yang keluar dari tenggorokannya berbeda.
"Ya," jawabnya lirih.
"Jadi, mana yang nyata?"
Cahya yang duduk bertanya lagi, suaranya terdengar akrab tapi juga asing.
Cahya berdiri mematung di dekat
pintu. Ia tahu ini adalah pertanyaan jebakan.
"Tentu saja ini nyata,"
katanya akhirnya. "Aku di sini sekarang, kan?"
Cahya yang duduk tersenyum tipis.
"Tapi kau juga ada di sana."
"Kau maksudkan... dunia yang
tadi?"
"Ya. Bukankah di sana juga
terasa nyata?"
Cahya terdiam. Goreng pisang di
tangannya masih hangat. Seharusnya ia baru saja melewati perjalanan yang tidak
mungkin, berbulan-bulan di dunia yang absurd dan tak masuk akal. Tapi tubuhnya
masih di sini, dengan semua hal yang persis seperti saat ia pergi.
"Ini hanya permainan
pikiran," katanya akhirnya. "Aku mungkin hanya bermimpi, atau
mengalami semacam halusinasi."
Cahya yang duduk menggeleng pelan.
"Kalau kau benar-benar yakin ini nyata, kenapa kau masih ragu?"
Cahya tidak bisa menjawab.
Karena memang ada bagian dari
dirinya yang tidak yakin.
"Jadi apa sebenarnya dunia
itu?" akhirnya ia bertanya.
"Dunia yang mana?"
Cahya mengerutkan kening.
"Dunia yang kutinggalkan. Tempat di mana aku berjalan di antara waktu,
melihat diriku sendiri di berbagai usia, dan… melihat sesuatu yang tak
seharusnya ada."
Cahya yang duduk menatapnya dengan
mata penuh rahasia. "Itu dunia yang sama dengan ini."
"Itu tidak masuk akal."
"Tapi masuk akal, bukan? Kau
tahu bagaimana perasaanmu di sana. Bagaimana angin bertiup, bagaimana pasir
terasa di bawah kakimu. Itu nyata, sama seperti ini."
"Tapi aku ada di sini
sekarang."
"Ya, tapi kau juga pernah di
sana."
Cahya mulai merasa kepalanya berat.
"Jadi kau ingin bilang… tidak ada perbedaan?"
Cahya yang duduk tersenyum, lalu
bangkit. "Aku ingin bilang bahwa perbedaan itu tergantung bagaimana kau
memilih untuk melihatnya."
Ia berjalan mendekat, berdiri tepat
di hadapan Cahya. Cahya bisa melihat dirinya sendiri lebih jelas sekarang—tidak
ada perbedaan di antara mereka.
"Tapi ini pertanyaannya,"
lanjut Cahya yang lain. "Kalau kau bisa memilih… mana yang ingin kau
anggap sebagai kenyataan?"
Cahya menelan ludah.
Ia ingin menjawab dunia ini. Dunia
yang masuk akal, yang memiliki rutinitas dan batasan yang jelas. Tapi… bagian
dalam dirinya ragu.
Karena meskipun ia telah kembali…
Dunia ini terasa lebih asing dari
sebelumnya.
***
Cahya membenamkan
wajahnya ke bantal.
Semua ini pasti
hanya mimpi. Ya, itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal. Jika ia tidur,
maka saat bangun nanti, segalanya akan kembali seperti biasa. Dunia ini
nyata—dunia yang sebelumnya hanyalah imajinasi.
Tapi entah kenapa,
semakin ia mencoba meyakinkan dirinya, semakin sulit baginya untuk percaya.
Ia memejamkan mata,
menarik napas dalam-dalam, dan membiarkan kesadarannya larut dalam kegelapan.
Saat Cahya membuka
mata, ia tahu ada yang salah.
Udara di sekelilingnya
dingin, menusuk hingga ke tulang. Napasnya berembun, seperti pagi-pagi musim
hujan. Tapi ini bukan apartemennya.
Bukan tempat mana
pun yang ia kenali.
Kegelapan
menyelimuti sekelilingnya, pekat dan berat. Cahya meraba-raba, mencoba mencari
pegangan, tapi tidak ada apa pun. Hanya kehampaan yang terasa tak berujung.
Lalu, suara itu
datang.
Bukan bisikan,
bukan teriakan—melainkan getaran di dalam kepalanya. Sebuah rasa waswas yang
muncul begitu saja, tanpa asal-usul yang jelas.
Sesuatu
mengawasinya.
Ia tidak tahu apa,
tidak tahu di mana. Tapi ia bisa merasakannya, sebuah keberadaan yang menekan
dadanya, membuat napasnya terasa berat.
Cahya menelan
ludah. Ia harus keluar dari sini.
"Kembali…"
bisik sebuah suara yang bukan miliknya.
Ia tersentak. Suara
itu datang dari dalam dirinya, atau mungkin dari sekelilingnya—ia tidak tahu
pasti.
"Kembali ke
mana?" ia bertanya, suaranya serak.
Tak ada jawaban.
Hanya sunyi. Sunyi yang semakin membuatnya gelisah.
Lalu, perlahan,
dari kegelapan di sekelilingnya, sesuatu mulai muncul.
Bayangan-bayangan
samar, seperti sosok manusia tanpa wajah, bergerak dengan lambat. Mereka tidak
memiliki bentuk yang jelas, hanya gumpalan hitam yang bergetar seolah hendak
runtuh.
Cahya melangkah
mundur.
Tapi ke mana? Tidak
ada jalan, tidak ada batas. Ia hanya berada dalam kekosongan.
Ketakutan mulai
mencengkeramnya.
Jadi ini bukan
dunia nyata? Ini bukan apartemennya? Lalu, apakah yang sebelumnya juga bukan
dunia nyata?
"Berhenti!"
ia berteriak, berharap suara itu bisa membubarkan segalanya.
Tapi
bayangan-bayangan itu semakin mendekat.
Cahya berlari.
Entah menuju ke
mana.
Yang ia tahu, ia
harus keluar. Harus menemukan sesuatu. Harus… kembali.
Tapi kembali ke
mana?
***
Cahya jatuh.
Tubuhnya terhempas
ke dalam kehampaan yang seakan tak berujung. Udara menerpa wajahnya, mencabut
setiap helaan napas yang sempat ia tarik. Dan lalu—
BRUKK!
Rasa sakit
menghantam tubuhnya begitu nyata. Sesuatu yang keras dan kasar menyambutnya di
dasar. Ia merasakan nyeri menusuk dari sisi perutnya. Ketika ia mencoba
menggerakkan tangannya, ia merasakan sesuatu yang basah dan hangat.
Darah.
Sebuah cabang kayu
runcing menembus perutnya. Napasnya tersengal. Rasa sakit itu seperti gelombang
yang semakin lama semakin dalam. Tubuhnya bergetar, dingin menjalari setiap
ujung sarafnya.
"Apa aku… mati
di sini?" pikirnya dalam hati.
Ia mencoba
menggeliat, tapi justru menambah perih yang menjalar seperti api. Pandangannya
semakin kabur. Cahaya di sekelilingnya berpendar, suara samar mulai menghilang.
Lalu semuanya
memudar.
BIP… BIP… BIP…
Sebuah suara
monoton membawanya kembali ke kesadaran.
Matanya terasa
berat, kelopak matanya bergerak perlahan, dan sinar putih menyilaukan menusuk
pandangannya. Ia mengerjap beberapa kali. Bau antiseptik menusuk hidungnya.
Udara dingin dari AC rumah sakit menyentuh kulitnya yang pucat.
Ia tidak sedang
berada di jurang.
Ia sedang berbaring
di atas ranjang rumah sakit.
Sebuah selang infus
tertancap di lengannya. Dadanya naik turun, tubuhnya terasa begitu lemah. Lalu,
seperti petir yang menyambar ingatannya, semuanya kembali.
Ia ingat.
Ia ingat bagaimana
ia sendirian di apartemennya. Botol wiski tergeletak di lantai, pecahannya
berkilat dalam cahaya lampu yang redup. Tangannya gemetar, pikirannya kosong,
dunia terasa begitu hampa.
Ia ingat bagaimana
ia mengambil pecahan kaca itu dan menekannya ke perutnya sendiri.
Ia ingin
menghilang. Ingin lepas dari semuanya. Karena dunia ini terlalu kejam, terlalu
dingin, dan ia tidak punya tempat di dalamnya.
Tapi sekarang, ia
masih hidup.
Dan yang lebih
menyakitkan—bukan hanya luka di tubuhnya, tapi kenyataan bahwa ia masih harus
menghadapi dunia yang ingin ia tinggalkan.
Cahya menatap
langit-langit kamar rumah sakit dengan mata kosong.
“Jadi… aku masih di
sini?” bisiknya.
Tak ada jawaban.
Hanya suara mesin
yang terus berbunyi, mengingatkannya bahwa ia masih hidup.