Notification

×

Iklan

EID MUBARAK

KIRIM TULISAN 1S PINK

Iklan 728x90

FILLO MAGZ

BISNIS YOK

Seberkas Cahya Redup

Rabu, 19 Februari 2025 | Februari 19, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-28T21:00:43Z


Cerita Pendek

Jejak yang Tak Terlihat

oleh Erwinsyah Putra

Di tengah kota yang penuh kesibukan dan hiruk-pikuk manusia, ada sebuah jalur kecil yang tak pernah diperhatikan siapa pun. Itu bukan gang sempit yang mencurigakan, bukan pula jalan rahasia yang terselip di antara bangunan tua. Jalur itu ada, tapi mata manusia enggan melihatnya.

Malam itu, Cahya melihatnya.

Ia baru saja pulang dari toko buku tempatnya bekerja, berjalan menyusuri trotoar yang biasa ia lewati setiap hari. Hujan rintik turun, membasahi jalanan, menciptakan pantulan cahaya dari lampu jalan yang berpendar keemasan. Saat itulah ia melihat jalur itu.

Jalur itu membentang lurus di antara dua bangunan tua, tampak biasa saja—kecuali satu hal: Cahya yakin betul bahwa jalur itu tidak pernah ada sebelumnya.

Dibimbing oleh rasa ingin tahu yang tak tertahankan, ia melangkah masuk.

***

Langkah pertama terasa biasa. Langkah kedua pun masih normal. Namun, pada langkah ketiga, dunia di sekitarnya berubah.

Udara mendadak lebih berat, seperti ada sesuatu yang tak kasatmata menekan dari segala arah. Cahaya lampu jalan di luar jalur itu meredup, seolah ia telah melangkah ke dalam sebuah dimensi yang lebih dalam dari sekadar bayangan.

Langkah keempat. Langkah kelima.

Bangunan di sekitarnya perlahan berubah. Catnya pudar, retakan muncul di dinding-dinding tua yang sebelumnya tampak kokoh. Seperti film yang dipercepat, gedung-gedung itu berangsur-angsur menua, dimakan waktu.

Langkah keenam.

Cahya berhenti. Di hadapannya, ada sebuah bangku kayu. Dan di bangku itu, seseorang sedang duduk—

Dirinya sendiri.

***

Cahya menatap sosok di depannya. Itu dirinya, tidak salah lagi. Wajah yang sama, pakaian yang sama, bahkan luka kecil di tangan kirinya yang baru didapatnya siang tadi juga ada.

"Siapa kau?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.

Dirinya yang lain tersenyum tipis, menutup sebuah buku usang yang sedang dibacanya. "Aku seseorang yang pernah berjalan di jalur ini."

Cahya mengernyit. "Aku juga sedang berjalan di jalur ini."

"Ya." Sosok itu menepuk-nepuk buku yang ada di pangkuannya. "Maka sebentar lagi kau akan tahu."

Ia ingin bertanya lebih banyak, tetapi langkah kakinya seperti bergerak sendiri.

Langkah ketujuh. Langkah kedelapan.

Dan di langkah kesembilan, ia melihat sesuatu yang lebih aneh.

Di depannya, ada dirinya lagi—tapi kali ini lebih tua. Rambutnya beruban, garis-garis halus menghiasi wajahnya.

"Berapa lama aku berjalan?" tanya Cahya dengan suara lebih lirih.

Dirinya yang lebih tua hanya menatapnya dengan mata penuh rahasia. "Itu tergantung."

"Tergantung apa?"

"Tergantung seberapa jauh kau ingin pergi."

***

Cahya menoleh ke belakang, tapi jalur itu sudah tidak ada. Yang ada hanya kegelapan tak berujung.

Pilihan satu-satunya adalah terus maju.

Langkah kesepuluh membawanya ke dunia yang sepenuhnya berbeda. Gedung-gedung telah menghilang, digantikan oleh hamparan pasir putih yang luas. Langit di atasnya tidak lagi berwarna biru, melainkan keunguan dengan bintang-bintang yang berputar perlahan, seolah menari mengikuti ritme yang tak terdengar.

Di tengah lautan pasir itu, seseorang berdiri menunggunya.

Sosok tanpa wajah.

Tubuhnya tertutup jubah hitam panjang yang berkibar lembut ditiup angin yang tidak terasa. Tangannya terulur ke arah Cahya.

Cahya merasa ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar. Seolah sosok itu bukanlah asing baginya. Seolah ia telah mengenalnya sejak lama, lebih lama dari ingatannya sendiri.

"Siapa kau?" Cahya bertanya dengan suara bergetar.

Sosok itu tidak menjawab. Hanya tetap berdiri di sana, tangannya tetap terulur, menunggu.

Cahya sadar bahwa ia bisa memilih.

Ia bisa mengambil tangan itu, atau mencoba mencari jalan kembali. Namun, saat ia menoleh ke belakang, jalur itu sudah benar-benar hilang.

Ia hanya bisa melangkah maju.

Dan ia pun melangkah.

Cahya mengambil langkah pertama ke arah sosok berjubah hitam. Saat kakinya menyentuh pasir, sesuatu yang aneh terjadi. Tubuhnya terasa lebih ringan, seakan gravitasi di tempat ini tidak bekerja seperti biasa. Angin berputar di sekelilingnya, membawa bisikan-bisikan halus yang tidak dapat ia pahami.

Sosok berjubah itu tetap diam, tangannya masih terulur. Cahya ragu sejenak, lalu mengulurkan tangannya sendiri. Begitu jari-jarinya menyentuh tangan sosok itu, dunia di sekitarnya berubah dalam sekejap.

Pasir putih menghilang. Langit keunguan memudar. Cahya kini berdiri di depan sebuah gerbang raksasa yang terbuat dari logam hitam, dihiasi simbol-simbol aneh yang berpendar redup.

Sosok berjubah itu akhirnya berbicara, suaranya seperti bergema dari segala arah.

"Kau telah melangkah terlalu jauh. Tidak ada jalan kembali."

Cahya menelan ludah. Ia tidak tahu apakah itu peringatan atau pernyataan. Namun, entah mengapa, ia tidak takut. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin mengetahui apa yang ada di balik gerbang ini.

"Pilihlah."

Sosok itu menunjuk ke dua ukiran di gerbang. Yang pertama menggambarkan seorang pria yang berjalan menembus kabut, dengan sosok-sosok bayangan yang mengikutinya. Yang kedua menunjukkan seorang wanita yang duduk di kursi, dengan buku terbuka di pangkuannya, dikelilingi cahaya yang bersinar lembut.

Cahya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu, keputusannya akan menentukan ke mana jalur ini akan membawanya selanjutnya.

Ia mengangkat tangannya, lalu…

***

Cahya menatap dua ukiran di gerbang hitam itu. Jantungnya berdegup kencang, seolah tubuhnya tahu bahwa pilihan ini lebih dari sekadar keputusan biasa. Ini bukan hanya tentang jalur yang ia tempuh, tetapi tentang siapa dirinya.

Dengan napas tertahan, ia mengangkat tangannya dan menyentuh ukiran pria yang berjalan menembus kabut.

Gerbang bergetar. Udara di sekitar Cahya berubah, menjadi lebih dingin, lebih berat. Ukiran itu bersinar sebentar sebelum meredup, lalu pintu raksasa itu mulai terbuka dengan suara gemuruh.

Dari celah yang terbentuk, Cahya bisa melihat kabut tebal di sisi lain. Tidak ada tanah, tidak ada langit, hanya kabut yang menyelimuti semuanya. Saat pintu terbuka sepenuhnya, angin dingin bertiup dari dalam, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang tidak bisa ia kenali—sesuatu yang asing dan kuno.

Sosok berjubah hitam itu melangkah mundur, membiarkan Cahya berjalan masuk.

Tanpa pilihan lain, Cahya mengambil langkah pertamanya ke dalam kabut.

***

Langkah pertama terasa seperti melangkah ke dalam air. Udara di sekelilingnya begitu tebal sehingga setiap gerakan terasa lambat. Cahya mencoba melihat ke depan, tapi yang terlihat hanya kabut tak berujung.

Langkah kedua.

Bisikan-bisikan mulai terdengar, semakin jelas. Kata-katanya tidak bisa ia pahami, tetapi ada nada yang terdengar familiar—seperti suara-suara dari masa lalu, kenangan yang hampir terlupakan.

Langkah ketiga.

Siluet mulai muncul di sekelilingnya. Samar-samar, seperti bayangan yang bergerak di balik tirai. Cahya bisa merasakan mata mereka menatapnya, meskipun tidak ada wajah yang bisa ia lihat.

Langkah keempat.

Salah satu bayangan bergerak lebih dekat. Dari balik kabut, sesosok pria muncul. Cahya terdiam. Ia mengenali wajah itu.

Itu adalah ayahnya.

Tetapi, itu tidak mungkin. Ayahnya telah meninggal bertahun-tahun yang lalu.

"Pa…?" Cahya berbisik, keraguan dan ketakutan bercampur di dalam dirinya.

Sosok itu tersenyum, tetapi ada sesuatu yang salah. Matanya kosong, bibirnya bergerak tetapi tidak mengeluarkan suara. Ia melangkah lebih dekat, tangannya terulur, seolah meminta Cahya untuk mengikutinya.

Cahya mundur selangkah.

Promo Diskon

Promo Diskon 35%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

"Apa kau benar-benar ayahku?" tanyanya, suaranya bergetar.

Sosok itu berhenti. Senyum di wajahnya perlahan memudar, berubah menjadi ekspresi kosong yang dingin. Lalu, tubuhnya mulai bergetar dan terdistorsi, seperti gambar di layar televisi yang terganggu sinyalnya.

Dan kemudian, dengan suara mendesis, sosok itu menghilang kembali ke dalam kabut.

Cahya menelan ludah. Ia tidak tahu apakah itu benar-benar ayahnya atau hanya bayangan yang diciptakan oleh jalur ini.

Tapi satu hal yang pasti: jalur ini sedang mengujinya.

Dan ia belum tahu seberapa jauh lagi ia harus berjalan.

***

Cahya berdiri diam di tengah kabut, napasnya berat. Bayangan-bayangan lain masih bergerak di sekitarnya, berbisik dalam bahasa yang tak ia pahami. Dadanya terasa sesak, tetapi ia tahu satu hal: ia tidak boleh berhenti.

Langkah kelima.

Tiba-tiba, suara lain terdengar—lebih jelas, lebih nyata. Itu bukan bisikan, melainkan suara seorang perempuan, memanggil namanya.

"Cahya…"

Ia menoleh ke kanan. Tidak ada apa-apa selain kabut.

"Cahya…"

Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Ia mengenali suara itu. Jantungnya berdegup lebih cepat. Itu suara… ibunya.

"Tolong…"

Cahya mengerjap. Ia tahu betul ibunya masih hidup, masih menunggunya di rumah. Tetapi suara itu terdengar begitu nyata, begitu putus asa.

Langkah keenam.

Dari balik kabut, sesosok perempuan muncul. Cahya menahan napas. Itu ibunya—atau sesuatu yang menyerupai ibunya. Wajahnya penuh kesedihan, matanya memancarkan ketakutan.

"Cahya, tolong aku…" katanya lagi, suaranya hampir bergetar.

Cahya ragu. Ia ingin berlari ke arahnya, ingin memastikan bahwa itu benar-benar ibunya. Tetapi di dalam hatinya, sesuatu memperingatkan bahwa ini adalah ujian lain.

"Mama?"

Perempuan itu menatapnya, lalu tersenyum tipis. Cahya merasa ada sesuatu yang salah dalam senyuman itu.

Seketika, tangannya mencengkeram pergelangan Cahya. Cengkeramannya dingin, terlalu kuat untuk seorang wanita seusia ibunya.

"Tetaplah di sini, Cahya…" bisiknya.

Cahya tersentak. Ia mencoba menarik tangannya, tetapi perempuan itu tidak melepaskannya.

"Lepaskan aku!" serunya.

Wajah perempuan itu berubah. Kulitnya mulai retak seperti porselen yang pecah, matanya menjadi hitam legam.

Cahya mengerahkan seluruh kekuatannya dan menarik tangannya dengan sekuat tenaga. Tubuh perempuan itu mulai mencair, seperti bayangan yang kehilangan bentuknya. Dalam hitungan detik, ia menghilang kembali ke dalam kabut.

Cahya terengah-engah. Kakinya gemetar, tetapi ia tahu ia tidak bisa berhenti.

Langkah ketujuh.

***

Kabut mulai menipis. Cahya bisa melihat sesuatu di kejauhan—dua jalan yang bercabang.

Di sisi kiri, jalur itu tampak redup, seperti jalan setapak di hutan yang lama tidak dilalui orang. Ranting-ranting kering menutupi tanahnya, dan udara di sana terasa dingin, seperti musim dingin yang membekukan.

Di sisi kanan, jalur itu terang, dipenuhi sinar keemasan seperti matahari pagi. Ada suara-suara tawa, suara burung berkicau, dan aroma yang mengingatkannya pada rumah.

Dua jalan. Dua pilihan.

Cahya menatapnya lama.

Jalan yang gelap terasa berbahaya, tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa jalur itulah yang harus ia lalui. Jalan yang terang terlalu sempurna—terlalu indah untuk menjadi nyata.

Tetapi, apakah ia berani memilih jalur yang gelap?

Tiba-tiba, ia mendengar suara lain—suara langkah kaki mendekat dari belakang.

Ia menoleh.

Dan di sana, berdiri seseorang yang tidak ia duga akan ia temui.

Dirinya sendiri.

Tetapi kali ini, lebih tua.

***

Cahya menatap sosok itu dengan hati-hati. Wajahnya sedikit lebih keras, matanya lebih tajam, seolah telah melalui banyak hal.

"Kau sampai di sini juga," kata sosok itu dengan suara yang mirip dengannya, tetapi lebih dalam.

"Apa yang terjadi jika aku memilih jalan yang salah?" Cahya bertanya.

Sosok itu tersenyum tipis. "Tidak ada jalan yang salah. Hanya jalan yang mengubahmu dengan cara berbeda."

Cahya terdiam.

"Jika kau memilih jalan yang terang, kau akan kembali ke kehidupan lamamu. Tidak akan ada yang berubah. Semua akan tetap sama."

"Dan jalan yang gelap?"

Sosok itu menatapnya dalam-dalam. "Kau akan menemukan kebenaran. Tetapi kebenaran itu tidak akan mudah."

Cahya menghela napas. Ia menatap kedua jalan itu sekali lagi.

Ia tahu jawabannya.

Dengan langkah pasti, ia melangkah ke jalan yang gelap.

Dan dunia pun berubah sekali lagi.

***

Begitu Cahya melangkah ke jalan gelap, udara di sekitarnya berubah. Dingin merayap ke dalam tulangnya, seperti es yang menyelinap di bawah kulit. Hutan di sekelilingnya menjadi lebih pekat, pohon-pohon menjulang tinggi dengan cabang-cabang seperti tangan yang mencoba meraih sesuatu.

Langkahnya semakin berat, seakan-akan tanah di bawahnya ingin menahannya. Tetapi Cahya tidak berhenti.

Di kejauhan, samar-samar, terdengar suara berbisik. Kali ini bukan suara asing. Ia mengenali suara itu.

Suaranya sendiri.

"Kau tidak seharusnya ada di sini…" bisik suara itu, menggema di antara pepohonan.

Cahya menelan ludah. Bayangannya yang tadi berdiri di persimpangan kini muncul lagi di depannya, tetapi kali ini wajahnya lebih pucat, matanya kosong seperti kaca.

"Kau seharusnya memilih jalan yang terang," kata bayangan itu.

"Tapi aku ingin tahu kebenaran," Cahya menjawab.

Bayangan itu tertawa pelan, tetapi suaranya dingin, tanpa emosi. "Kebenaran tidak selalu yang terbaik, Cahya. Terkadang, yang kita butuhkan adalah kebohongan yang indah."

Cahya menggenggam tangannya erat. Ia tidak akan mundur.

"Aku ingin melihat sendiri, bukan hanya mendengar peringatan."

Bayangan itu tersenyum. "Kalau begitu, bersiaplah."

Seketika, hutan di sekelilingnya bergetar. Tanah retak, udara menjadi lebih dingin. Dari dalam bayangan, sesuatu mulai muncul—sosok tinggi, tanpa wajah, dengan tangan panjang yang melayang di udara.

Cahya mundur selangkah.

Makhluk itu tidak bergerak, tetapi ia bisa merasakan kehadirannya yang menekan, seperti beban di dadanya.

Lalu, makhluk itu berbicara.

"Bukankah lebih baik jika kau tidak pernah tahu?"

Suaranya bukan hanya satu, tetapi banyak—tumpang tindih, seperti suara dari berbagai versi dirinya.

Cahya menutup telinganya, tetapi suara itu tetap ada di kepalanya.

"Lupakan. Kembalilah."

Cahya menggigit bibirnya. Ia tahu ini ujian. Jika ia menyerah sekarang, ia tidak akan pernah sampai ke akhir.

Dengan napas berat, ia mengangkat wajahnya dan menatap makhluk itu.

"Aku tidak akan kembali."

Tiba-tiba, makhluk itu bergerak.

Bayangan panjangnya melesat ke arahnya, membelit tubuhnya seperti kabut yang hidup. Dingin merayap ke kulitnya, dan untuk sesaat, ia merasa tubuhnya menghilang—seolah-olah dirinya ditelan oleh kegelapan.

Tetapi Cahya tetap bertahan. Ia menutup matanya, fokus pada satu hal: kebenaran yang ia cari.

Dan dalam sekejap, semuanya berubah.

***

Saat Cahya membuka matanya, ia tidak lagi berada di hutan.

Ia berdiri di dalam sebuah ruangan besar, dipenuhi dengan cermin.

Di setiap cermin, ada refleksi dirinya—tetapi semuanya berbeda. Ada yang lebih tua, ada yang lebih muda, ada yang terlihat penuh amarah, ada yang terlihat hampa.

Di tengah ruangan, ada sebuah kursi.

Dan di kursi itu, duduk seseorang.

Cahya menahan napas. Itu dirinya sendiri, tetapi lebih tua. Wajahnya tampak letih, dengan mata yang menyimpan beban bertahun-tahun.

"Akhirnya kau sampai di sini," kata sosok itu.

Cahya melangkah maju. "Apa tempat ini?"

"Ini adalah jawaban yang kau cari," kata sosok itu. "Ini adalah tempat di mana kau akan mengetahui siapa dirimu sebenarnya."

Cahya menelan ludah. Ia sudah melalui banyak hal untuk sampai ke sini.

Sekarang, ia harus siap menghadapi apa pun yang akan ia temukan.

Dan ia bertanya:

"Siapa aku sebenarnya?"

***

Cahya menatap sosok di kursi itu, hatinya berdebar kencang. Ia merasa seperti melihat refleksi yang bukan sekadar pantulan, melainkan sesuatu yang lebih dalam—lebih nyata.

"Apa maksudmu?" Cahya bertanya, suaranya nyaris berbisik.

Sosok itu tidak langsung menjawab. Ia menghela napas, lalu mengangkat tangannya ke arah salah satu cermin di ruangan itu. Cahya mengikutinya dengan tatapan penuh kewaspadaan.

Perlahan, bayangan di cermin mulai bergerak sendiri.

Itu adalah dirinya—tetapi berbeda. Sosok dalam cermin tampak lebih bahagia, lebih ringan, seperti seseorang yang tidak pernah menanggung beban apa pun. Cahya bisa melihatnya tersenyum, tertawa, menjalani kehidupan yang tampak sempurna.

"Itu bisa menjadi dirimu," kata sosok di kursi.

Cahya mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Jika kau memilih untuk tidak berjalan di jalur ini… jika kau memilih jalan lain… hidupmu akan seperti itu."

Cahya menatap cermin itu lebih lama. Itu memang dirinya, tetapi terasa asing. Apakah benar ia bisa menjadi orang yang seperti itu jika ia mengambil pilihan berbeda?

"Tapi aku tidak memilih jalan itu," kata Cahya pelan.

Sosok itu mengangguk. "Dan karena itu, kau berada di sini."

Dengan gerakan ringan, ia melambaikan tangannya, dan cermin di sampingnya berubah lagi. Kali ini, Cahya melihat sesuatu yang lebih mengerikan.

Dirinya sendiri, tetapi penuh luka, mata kosong tanpa kehidupan. Suara jeritan terdengar samar dari cermin itu.

"Dan itu juga bisa menjadi dirimu," kata sosok di kursi. "Jika kau terus berjalan tanpa mengetahui apa yang menunggumu."

Cahya merasa tenggorokannya mengering.

"Jadi apa yang harus kulakukan?" tanyanya.

Sosok itu tersenyum samar. "Jawaban itu bukan dariku. Kau harus menemukannya sendiri."

Cahya menatap sekeliling ruangan, mencoba memahami situasi ini. Setiap cermin menunjukkan kemungkinan berbeda tentang dirinya—kehidupan yang bisa ia jalani, jalan yang bisa ia ambil, pilihan yang bisa ia buat.

Tapi hanya satu yang nyata.

Dan hanya satu jalan yang bisa ia pilih.

Dengan napas berat, Cahya menutup matanya.

Saat ia membukanya lagi, ruangan itu berubah.

Kini, hanya ada satu cermin di depannya.

Dan di dalamnya, hanya ada dirinya—tanpa perbedaan, tanpa kemungkinan lain.

Hanya Cahya yang sejati.

Ia melangkah mendekat.

Dan ketika ia menyentuh permukaan cermin itu, segalanya berubah.

***

Ketika Cahya menarik napas lagi, ia sudah berdiri di sebuah lorong yang panjang.

Di ujungnya, ada sebuah pintu kayu.

Tanpa ragu, ia melangkah maju.

Setiap langkahnya terasa ringan, seolah beban yang ia rasakan sejak awal telah hilang. Ia tidak tahu apakah ia telah menemukan jawabannya atau apakah ia masih dalam perjalanan menuju kebenaran yang lebih besar.

Tetapi satu hal yang pasti:

Ia tidak akan berhenti.

Dan saat tangannya menyentuh pegangan pintu, dunia di sekelilingnya mulai bergetar.

Pintu itu terbuka.

Dan Cahya melangkah masuk.

***

Begitu Cahya melangkah melewati pintu kayu itu, ia tidak lagi berada di lorong.

Dunia di sekelilingnya berubah menjadi sebuah hamparan luas dengan langit yang seperti kanvas bergerak—warnanya terus berubah, dari ungu tua ke biru kehijauan, lalu ke jingga keemasan. Bentangan daratan di bawahnya pun bukan tanah biasa, melainkan seperti lembaran kaca yang memantulkan bayangan langit dengan kejelasan luar biasa.

Di kejauhan, sosok-sosok mulai muncul.

Mereka tinggi, jauh lebih tinggi dari manusia biasa, dengan tubuh yang setengah transparan seperti kabut pekat yang terjalin bersama cahaya bintang. Wajah mereka samar, berubah-ubah seperti wajah-wajah yang pernah dilihat Cahya dalam hidupnya—beberapa terasa asing, beberapa tampak familiar.

Promo Diskon

Promo Diskon 35%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

Mereka adalah Para Penjaga Dimensi.

Salah satu dari mereka mendekat. Cahya bisa merasakan udara di sekelilingnya bergetar, bukan oleh suara, melainkan oleh getaran energi yang menggema langsung di dalam pikirannya.

"Kau telah melangkah terlalu jauh, Pelancong."

Cahya menelan ludah. "Aku… aku tidak mengerti."

Sosok itu menundukkan kepalanya, lalu dalam sekejap, tubuhnya berubah menjadi ratusan kupu-kupu hitam yang beterbangan mengitari Cahya sebelum kembali menyatu di sisi lain.

"Semua yang berjalan di jalur ini harus memilih nasibnya. Kau telah melihat dirimu sendiri dalam berbagai bentuk, dan sekarang kau akan bertemu mereka yang berada di luar dirimu."

Cahya mengernyit. "Mereka?"

Sosok lainnya, yang memiliki mata berwarna perak menyala, mengangkat tangannya.

Langit di atas mereka bergetar, dan dari celah-celah di antara warna-warna yang terus berubah, muncul bayangan-bayangan raksasa yang tak berbentuk. Mereka melayang seperti arwah yang mencari tubuh, tubuh mereka bergelombang seperti asap namun sesekali membentuk wajah-wajah yang menatap Cahya dengan ekspresi kosong.

"Mereka yang tersesat di jalur ini, yang tidak pernah bisa memilih jalan mereka."

Cahya bergidik. Beberapa dari bayangan itu memiliki wajahnya. Beberapa lagi tampak seperti orang-orang yang pernah ia kenal, tetapi dengan mata kosong dan bibir yang tidak bergerak.

Salah satu dari mereka merangkak mendekat, lengannya yang panjang dan kurus merentang ke arahnya.

"Bantu kami…" suara itu terdengar seperti bisikan ribuan orang yang berbicara dalam waktu yang sama.

Cahya mundur selangkah, tapi Para Penjaga hanya berdiri diam, mengawasi.

"Apa yang terjadi pada mereka?" tanya Cahya dengan suara gemetar.

Sosok bermata perak menoleh padanya.

"Mereka ragu. Mereka berjalan tanpa tujuan. Mereka tidak pernah memilih."

Bayangan itu kini semakin dekat.

Cahya bisa merasakan dinginnya, seperti sentuhan udara yang telah kehilangan kehangatan dunia. Jika ia diam saja, bayangan itu akan menyelimutinya, menyerapnya, mengubahnya menjadi salah satu dari mereka—salah satu jiwa yang tersesat.

Tidak.

Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi.

Dengan gemetar, Cahya menatap Para Penjaga Dimensi. "Lalu apa pilihanku?"

Mata perak itu kembali bersinar.

"Lihat ke dalam dirimu. Lihat ke dalam jalur yang kau tempuh. Pilihlah apa yang kau cari."

Dan di saat itu, Cahya mendengar suara.

Bukan dari luar. Bukan dari Para Penjaga.

Tetapi dari dalam dirinya sendiri.

***

Dari dalam jiwanya, sebuah suara berbisik.

"Kau sudah tahu jawabannya."

Cahya mengerjap. Suara itu terasa akrab, seperti suara yang selalu ada di dalam pikirannya, tetapi tak pernah ia sadari sebelumnya.

Dan saat ia melihat ke arah bayangan yang hampir menyentuhnya, ia sadar sesuatu.

Bayangan itu bukanlah sesuatu dari luar dirinya.

Bayangan itu adalah ketakutannya.

Keraguan yang selama ini ia simpan.

Perasaan bahwa ia tidak pernah cukup. Bahwa ia tidak pernah benar-benar memahami siapa dirinya.

Cahya mengepalkan tangannya.

"Pergi," katanya pelan.

Bayangan itu berhenti.

"Pergi!" katanya lebih keras.

Dan tiba-tiba, seperti kabut yang tertiup angin kencang, bayangan itu mulai menghilang.

Suara ribuan bisikan lenyap.

Langit di atasnya berhenti bergetar.

Para Penjaga Dimensi menundukkan kepala mereka.

Sosok bermata perak tersenyum tipis.

"Kau telah memilih."

Dan saat itu, sebuah pintu baru muncul di hadapannya.

Terbuat dari cahaya, berpendar lembut seperti bintang yang berkedip di kegelapan malam.

Cahya menarik napas dalam-dalam.

Di balik pintu itu, ada jawabannya.

Apa pun itu.

Tanpa ragu, ia melangkah maju.

Dan segalanya pun berubah.

***

Cahya melangkah melewati pintu cahaya dengan hati berdebar. Seluruh tubuhnya terasa ringan, seakan gravitasi tidak lagi menariknya. Dunia di sekelilingnya berpendar, berpusing seperti pusaran air, hingga segalanya larut dalam putih yang membutakan.

Lalu—

Angin sore menerpa wajahnya.

Bau hujan di aspal.

Langit abu-abu.

Cahya berdiri di jalan yang sama, di titik yang sama saat semua ini dimulai.

Ia mengedipkan mata. Jantungnya berdegup kencang.

Toko kelontong di ujung jalan masih ada. Suara motor menderu lewat di kejauhan. Langkah kakinya masih berada di trotoar yang retak, dengan rumput kecil tumbuh di sela-selanya.

Ia meraba tasnya dengan panik.

Masih di sana.

Plastik bening yang sedikit berembun. Dua potong goreng pisang di dalamnya.

Masih hangat.

Tangannya gemetar. Itu tidak masuk akal. Ia telah menghabiskan berbulan-bulan di dunia lain. Berjalan melintasi dimensi yang tak ia pahami, bertemu dengan makhluk-makhluk yang seharusnya tak ada. Namun, bagi dunia ini, seakan semuanya hanya terjadi dalam sekejap.

Cahya menarik napas dalam-dalam.

Ia melihat ke sekeliling. Tidak ada yang berubah. Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang berbeda.

Ia tidak lagi sama.

***

Cahya mulai berjalan, mencoba mencari tanda-tanda bahwa apa yang ia alami benar-benar terjadi.

Ia melewati seorang ibu yang sedang menggendong anaknya—wajahnya samar-samar familiar, seolah Cahya pernah melihatnya dalam bentuk lain di dimensi lain.

Seorang pria tua duduk di bangku taman, membaca koran. Cahya bisa melihat sepasang matanya yang abu-abu berkilat, seperti mata Perak yang dulu membimbingnya.

Dan di etalase sebuah toko, ia melihat pantulan dirinya sendiri.

Ia terlihat sama. Tapi matanya…

Matanya tidak lagi kosong seperti dulu.

Dulu, ia berjalan tanpa arah. Ia tidak tahu apa yang ia cari, atau bahkan siapa dirinya. Ia ragu, ia takut, ia menghindari keputusan.

Sekarang, ia tahu.

Semua perjalanan itu bukanlah kebetulan. Itu adalah cermin, menghadapkan dirinya pada segala ketakutan yang selama ini ia tolak untuk hadapi.

Ia menatap goreng pisang di tangannya, lalu tersenyum kecil.

Lapar.

Dengan tenang, ia menggigit goreng pisang yang masih hangat.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa… utuh.

***

Cahya mengunyah goreng pisang perlahan, merasakan kerenyahannya di lidah. Udara sore masih mengandung sisa hujan, membuat trotoar sedikit licin. Ia melanjutkan langkahnya, berjalan menyusuri jalan yang sama seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda.

Semua terasa lebih… nyata.

Setiap detil lebih tajam. Cahaya lampu jalan memantulkan kilau keemasan pada genangan air, dan ia bisa melihat bayangannya di sana, berkedip menatap dirinya sendiri. Suara kendaraan tidak lagi samar di latar belakang—ia bisa mendengar dengung mesinnya, bunyi klakson yang menggema, bahkan suara gesekan ban dengan aspal yang basah.

Orang-orang berlalu-lalang seperti biasa. Seorang wanita muda berbicara di telepon dengan ekspresi cemas. Seorang pria tua dengan kantong plastik berisi sayuran berjalan tertatih melewatinya.

Namun, sesuatu terasa… aneh.

Ia mencoba mengabaikan perasaan itu dan terus berjalan.

Toko kelontong masih di sana. Warung bakso di seberang jalan masih mengeluarkan uap hangat dari mangkuk-mangkuk yang tersaji. Semua sama.

Tapi kenapa rasanya seperti ada yang mengawasi?

Cahya berhenti di depan jendela toko buku tempatnya bekerja. Refleksi di kaca memperlihatkan dirinya dengan jelas—terlalu jelas.

Setiap helai rambutnya terlihat. Kedipan matanya lambat, seperti direkam dalam gerakan lambat.

Ia menelan ludah.

Lalu, seseorang lewat di belakangnya dalam pantulan itu—tapi saat ia menoleh…

Tidak ada siapa-siapa.

***

Saat Cahya masuk ke dalam toko buku, lonceng di atas pintu berdenting pelan. Bau buku tua menyambutnya, menenangkan, tetapi juga membuat perutnya sedikit mual, seperti ia pernah mengalami ini sebelumnya—berulang kali.

"Kamu telat, Cahya," suara seseorang menyapa dari belakang meja kasir.

Cahya menoleh. Itu Sari, rekan kerjanya.

Sari mengikat rambutnya ke belakang seperti biasa, tetapi ada sesuatu di matanya yang berbeda. Cahya tidak tahu apa itu, hanya saja… ia merasa Sari tahu sesuatu.

"Tidak, aku… tidak merasa telat," Cahya menjawab ragu.

Sari hanya menatapnya, lalu tersenyum samar. "Ya, mungkin kamu benar."

Cahya berjalan ke rak-rak buku, mencoba mengalihkan pikirannya. Tapi saat ia melewati seorang pelanggan, ia mendengar sesuatu yang membuatnya merinding.

"…Dia sudah kembali," bisik seorang pria paruh baya yang sedang membaca.

Cahya berhenti.

Pria itu tetap membaca, seolah tidak pernah berbicara.

"Tadi bapak bilang apa?" Cahya bertanya.

Pria itu menatapnya, bingung. "Saya tidak bilang apa-apa."

Cahya menelan ludah. Ia melanjutkan pekerjaannya, tetapi sekarang, setiap suara terasa seperti bisikan yang ditujukan padanya.

***

Malam semakin larut saat Cahya berjalan pulang. Jalanan sepi, hanya suara sepatu dan napasnya yang terdengar.

Ia ingin pulang.

Tapi ke mana?

Apartemennya masih ada, bukan? Masih di lantai tiga dengan jendela kecil yang menghadap ke jalan utama?

Tapi kenapa ia ragu?

Ia berhenti di bawah lampu jalan, membuka tasnya.

Goreng pisang itu…

Masih hangat.

Seharusnya sudah dingin, setidaknya setelah berjam-jam. Tapi tidak. Seperti waktu berhenti untuknya.

Atau…

Seperti ia masih terjebak di tempat lain.

Di dunia yang tampak nyata.

Terlalu nyata.

Dan yang paling mengerikan adalah—

Apa yang akan terjadi jika ia benar-benar menyadari di mana ia berada?

***

Cahya menggenggam goreng pisang itu lebih erat, merasakan hangatnya seolah ia sedang memegang sesuatu yang bukan sekadar makanan, tapi bukti bahwa ada yang tidak beres.

Ia menarik napas dalam. Jalanan lengang, angin malam menyelinap di sela-sela dedaunan, menciptakan suara gemerisik yang biasanya tidak ia pedulikan. Tapi kini, setiap bunyi terdengar terlalu jelas.

Sepatu yang menyentuh aspal.

Detak jantungnya sendiri.

Dan… sesuatu yang lain.

Sesuatu yang tidak berbunyi, tetapi ia bisa merasakannya.

Ada kehadiran.

Ia tidak menoleh, tidak ingin melihat. Tapi dari sudut matanya, bayangan itu ada. Sesuatu yang berdiri di seberang jalan, diam, tak bergerak, seperti patung yang menunggu sesuatu.

Cahya melangkah lebih cepat.

Bayangan itu masih di sana.

Ia tahu.

Ia tahu bahwa jika ia menoleh langsung… sesuatu akan berubah.

Tapi bukankah itu yang selalu terjadi?

Bahwa dunia ini, meskipun tampak nyata, sebenarnya hanyalah lapisan lain dari sesuatu yang lebih besar?

***

Akhirnya, apartemennya muncul dalam pandangan. Lantai tiga, jendela kecil yang menghadap ke jalan. Lampunya menyala, seperti biasa.

Seharusnya tidak ada yang aneh.

Tapi… lampunya menyala.

Siapa yang menyalakannya?

Ia tidak tinggal bersama siapa pun.

Langkahnya melambat. Ia mendongak, menatap jendela itu lebih lama dari yang seharusnya.

Bayangan bergerak di dalam.

Dadanya mengencang. Itu tidak mungkin.

Atau mungkin… itu adalah sesuatu yang selama ini sudah menunggu?

Cahya menggenggam kunci apartemennya erat-erat, tangannya sedikit gemetar.

Ia bisa pergi.

Ia bisa berbalik dan tidak pernah kembali ke sini.

Tapi ia tahu, bahkan jika ia lari sejauh apa pun… dunia ini tidak akan melepaskannya begitu saja.

Jadi ia melangkah masuk.

Dan pintu apartemennya terbuka… sebelum ia sempat memutarnya.

***

Cahya melangkah masuk.

Ruangan apartemennya terasa… biasa. Bau kopi sisa pagi tadi masih mengambang di udara. Meja kayu kecil di sudut masih berserakan dengan buku-buku yang belum sempat ia baca. Jaket yang ia lempar sembarangan tadi pagi masih tergeletak di sofa.

Tapi ada sesuatu yang berbeda.

Ia tahu ada yang menunggunya.

Dan benar saja.

Di kursi dekat jendela, duduklah seseorang.

Dirinya sendiri.

Bukan pantulan cermin, bukan ilusi. Cahya yang lain itu menatapnya dengan ekspresi tenang, kakinya disilangkan, seolah kehadirannya di sana adalah hal yang paling wajar di dunia.

"Sudah kembali?" Cahya yang duduk itu bertanya.

Ia ingin menyangkal. Ingin bertanya siapa makhluk di depannya ini, atau bagaimana ia bisa ada di sini. Tapi suara yang keluar dari tenggorokannya berbeda.

"Ya," jawabnya lirih.

"Jadi, mana yang nyata?" Cahya yang duduk bertanya lagi, suaranya terdengar akrab tapi juga asing.

Promo Diskon

Promo Diskon 35%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

Cahya berdiri mematung di dekat pintu. Ia tahu ini adalah pertanyaan jebakan.

"Tentu saja ini nyata," katanya akhirnya. "Aku di sini sekarang, kan?"

Cahya yang duduk tersenyum tipis. "Tapi kau juga ada di sana."

"Kau maksudkan... dunia yang tadi?"

"Ya. Bukankah di sana juga terasa nyata?"

Cahya terdiam. Goreng pisang di tangannya masih hangat. Seharusnya ia baru saja melewati perjalanan yang tidak mungkin, berbulan-bulan di dunia yang absurd dan tak masuk akal. Tapi tubuhnya masih di sini, dengan semua hal yang persis seperti saat ia pergi.

"Ini hanya permainan pikiran," katanya akhirnya. "Aku mungkin hanya bermimpi, atau mengalami semacam halusinasi."

Cahya yang duduk menggeleng pelan. "Kalau kau benar-benar yakin ini nyata, kenapa kau masih ragu?"

Cahya tidak bisa menjawab.

Karena memang ada bagian dari dirinya yang tidak yakin.

"Jadi apa sebenarnya dunia itu?" akhirnya ia bertanya.

"Dunia yang mana?"

Cahya mengerutkan kening. "Dunia yang kutinggalkan. Tempat di mana aku berjalan di antara waktu, melihat diriku sendiri di berbagai usia, dan… melihat sesuatu yang tak seharusnya ada."

Cahya yang duduk menatapnya dengan mata penuh rahasia. "Itu dunia yang sama dengan ini."

"Itu tidak masuk akal."

"Tapi masuk akal, bukan? Kau tahu bagaimana perasaanmu di sana. Bagaimana angin bertiup, bagaimana pasir terasa di bawah kakimu. Itu nyata, sama seperti ini."

"Tapi aku ada di sini sekarang."

"Ya, tapi kau juga pernah di sana."

Cahya mulai merasa kepalanya berat. "Jadi kau ingin bilang… tidak ada perbedaan?"

Cahya yang duduk tersenyum, lalu bangkit. "Aku ingin bilang bahwa perbedaan itu tergantung bagaimana kau memilih untuk melihatnya."

Ia berjalan mendekat, berdiri tepat di hadapan Cahya. Cahya bisa melihat dirinya sendiri lebih jelas sekarang—tidak ada perbedaan di antara mereka.

"Tapi ini pertanyaannya," lanjut Cahya yang lain. "Kalau kau bisa memilih… mana yang ingin kau anggap sebagai kenyataan?"

Cahya menelan ludah.

Ia ingin menjawab dunia ini. Dunia yang masuk akal, yang memiliki rutinitas dan batasan yang jelas. Tapi… bagian dalam dirinya ragu.

Karena meskipun ia telah kembali…

Dunia ini terasa lebih asing dari sebelumnya.

***

Cahya membenamkan wajahnya ke bantal.

Semua ini pasti hanya mimpi. Ya, itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal. Jika ia tidur, maka saat bangun nanti, segalanya akan kembali seperti biasa. Dunia ini nyata—dunia yang sebelumnya hanyalah imajinasi.

Tapi entah kenapa, semakin ia mencoba meyakinkan dirinya, semakin sulit baginya untuk percaya.

Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan membiarkan kesadarannya larut dalam kegelapan.

Saat Cahya membuka mata, ia tahu ada yang salah.

Udara di sekelilingnya dingin, menusuk hingga ke tulang. Napasnya berembun, seperti pagi-pagi musim hujan. Tapi ini bukan apartemennya.

Bukan tempat mana pun yang ia kenali.

Kegelapan menyelimuti sekelilingnya, pekat dan berat. Cahya meraba-raba, mencoba mencari pegangan, tapi tidak ada apa pun. Hanya kehampaan yang terasa tak berujung.

Lalu, suara itu datang.

Bukan bisikan, bukan teriakan—melainkan getaran di dalam kepalanya. Sebuah rasa waswas yang muncul begitu saja, tanpa asal-usul yang jelas.

Sesuatu mengawasinya.

Ia tidak tahu apa, tidak tahu di mana. Tapi ia bisa merasakannya, sebuah keberadaan yang menekan dadanya, membuat napasnya terasa berat.

Cahya menelan ludah. Ia harus keluar dari sini.

"Kembali…" bisik sebuah suara yang bukan miliknya.

Ia tersentak. Suara itu datang dari dalam dirinya, atau mungkin dari sekelilingnya—ia tidak tahu pasti.

"Kembali ke mana?" ia bertanya, suaranya serak.

Tak ada jawaban. Hanya sunyi. Sunyi yang semakin membuatnya gelisah.

Lalu, perlahan, dari kegelapan di sekelilingnya, sesuatu mulai muncul.

Bayangan-bayangan samar, seperti sosok manusia tanpa wajah, bergerak dengan lambat. Mereka tidak memiliki bentuk yang jelas, hanya gumpalan hitam yang bergetar seolah hendak runtuh.

Cahya melangkah mundur.

Tapi ke mana? Tidak ada jalan, tidak ada batas. Ia hanya berada dalam kekosongan.

Ketakutan mulai mencengkeramnya.

Jadi ini bukan dunia nyata? Ini bukan apartemennya? Lalu, apakah yang sebelumnya juga bukan dunia nyata?

"Berhenti!" ia berteriak, berharap suara itu bisa membubarkan segalanya.

Tapi bayangan-bayangan itu semakin mendekat.

Cahya berlari.

Entah menuju ke mana.

Yang ia tahu, ia harus keluar. Harus menemukan sesuatu. Harus… kembali.

Tapi kembali ke mana?

***

Cahya jatuh.

Tubuhnya terhempas ke dalam kehampaan yang seakan tak berujung. Udara menerpa wajahnya, mencabut setiap helaan napas yang sempat ia tarik. Dan lalu—

BRUKK!

Rasa sakit menghantam tubuhnya begitu nyata. Sesuatu yang keras dan kasar menyambutnya di dasar. Ia merasakan nyeri menusuk dari sisi perutnya. Ketika ia mencoba menggerakkan tangannya, ia merasakan sesuatu yang basah dan hangat.

Darah.

Sebuah cabang kayu runcing menembus perutnya. Napasnya tersengal. Rasa sakit itu seperti gelombang yang semakin lama semakin dalam. Tubuhnya bergetar, dingin menjalari setiap ujung sarafnya.

"Apa aku… mati di sini?" pikirnya dalam hati.

Ia mencoba menggeliat, tapi justru menambah perih yang menjalar seperti api. Pandangannya semakin kabur. Cahaya di sekelilingnya berpendar, suara samar mulai menghilang.

Lalu semuanya memudar.

BIP… BIP… BIP…

Sebuah suara monoton membawanya kembali ke kesadaran.

Matanya terasa berat, kelopak matanya bergerak perlahan, dan sinar putih menyilaukan menusuk pandangannya. Ia mengerjap beberapa kali. Bau antiseptik menusuk hidungnya. Udara dingin dari AC rumah sakit menyentuh kulitnya yang pucat.

Ia tidak sedang berada di jurang.

Ia sedang berbaring di atas ranjang rumah sakit.

Sebuah selang infus tertancap di lengannya. Dadanya naik turun, tubuhnya terasa begitu lemah. Lalu, seperti petir yang menyambar ingatannya, semuanya kembali.

Ia ingat.

Ia ingat bagaimana ia sendirian di apartemennya. Botol wiski tergeletak di lantai, pecahannya berkilat dalam cahaya lampu yang redup. Tangannya gemetar, pikirannya kosong, dunia terasa begitu hampa.

Ia ingat bagaimana ia mengambil pecahan kaca itu dan menekannya ke perutnya sendiri.

Ia ingin menghilang. Ingin lepas dari semuanya. Karena dunia ini terlalu kejam, terlalu dingin, dan ia tidak punya tempat di dalamnya.

Tapi sekarang, ia masih hidup.

Dan yang lebih menyakitkan—bukan hanya luka di tubuhnya, tapi kenyataan bahwa ia masih harus menghadapi dunia yang ingin ia tinggalkan.

Cahya menatap langit-langit kamar rumah sakit dengan mata kosong.

“Jadi… aku masih di sini?” bisiknya.

Tak ada jawaban.

Hanya suara mesin yang terus berbunyi, mengingatkannya bahwa ia masih hidup.

 

Promo Diskon

Promo Diskon 35%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

 

 

 

×
Duta Huskus

BELI PARFUM INI, KAMI KEMBALIKAN Rp.108.000/ HARI

SYARATNYA KLIK INI