Cerita Sambung
Al 'Alamul Aswad
Episode 4: Alwaqt Lilmihwar
oleh Erwinsyah Putra
Suasana duka yang seharusnya membawa ketenangan berubah menjadi api kebencian yang tak terkendali. Cokgom, yang kini telah dikuasai oleh Raja Iblis, berdiri di tengah rumah duka dengan mata merah membara. Dengan suara berat yang mengguncang jiwa setiap warga, ia mengarahkan telunjuknya ke arah Tiop.
"Kaulah pembunuh istriku! Kau juga membunuh anakku!" teriaknya
lantang.
Warga yang telah dikuasai oleh aura jahat Raja Iblis mulai kehilangan akal
sehat mereka. Di antara isak tangis dan desahan duka, terdengar teriakan-teriakan
penuh amarah. Sejumlah orang mulai mendekat ke arah Tiop dengan kayu dan batu
di tangan mereka.
Namun, Tiop bukanlah lelaki yang mudah menyerah. Meskipun tubuhnya mulai
lemah dan darah mengalir dari luka-lukanya, ia bertahan. Dengan sisa tenaganya,
ia melawan warga yang telah termanipulasi. Satu per satu, ia menghindari
pukulan dan membalas serangan mereka dengan strategi bertahan yang luar biasa.
Saat nyaris tumbang, Anjuna yang telah sadar dari kelelahan cenayangnya
berteriak lantang.
"Hentikan semua ini! Itu bukan Cokgom! Dia telah dirasuki Raja
Iblis!"
Warga yang masih memiliki sedikit kesadaran mulai terhenti. Dalam pandangan
supranaturalnya, Anjuna melihat kebenaran—Cokgom bukan lagi manusia biasa. Ia
juga melihat masa lalu yang menyayat hati. Dalam cenayangnya, ia memahami bahwa
Raja Iblis adalah jiwa yang terbelah, di mana satu sisi terjebak dalam amarah,
sementara sisi lainnya masih memiliki kebaikan yang tersisa.
***
Di Desa
Krishitang, 60 Tahun yang Lalu
Siburju
adalah pemuda miskin yang hidup sebatang kara. Sejak kecil, ia sering dihina
dan dikucilkan oleh warga desa karena tidak memiliki harta dan dianggap membawa
sial. Satu-satunya orang yang menyayanginya adalah ibunya, seorang wanita tua
renta yang selalu menghiburnya setiap malam di depan perapian rumah mereka yang
hampir roboh.
Suatu
malam, Siburju duduk termenung di tepi sungai, menatap bulan yang bersinar di
langit.
"Apa
aku memang tidak berguna? Apa aku memang ditakdirkan untuk hidup miskin dan
terhina?" gumamnya pelan.
Tiba-tiba,
suara langkah kaki mendekat. Seorang lelaki gagah berwibawa datang
menghampirinya. Ia adalah Nasattak, kepala desa pertama Krishitang.
"Siburju,"
panggil Nasattak. "Aku tahu kau bukan pemuda biasa. Kau memiliki tekad
yang kuat. Jika kau ingin mengubah takdirmu, ada satu cara."
Siburju
menatap Nasattak dengan penuh harap. "Apa itu, Tuan Kepala Desa? Aku akan
melakukan apa saja!"
Nasattak
tersenyum tipis. "Di hutan sebelah timur desa, ada Pohon Keramat yang
dipercaya menyimpan kekuatan luar biasa. Jika kau bertapa di sana selama 100
hari, seorang makhluk dari dunia lain akan datang dan memberimu ganjaran. Kau
akan mendapatkan harta, kekuatan, atau bahkan kehidupan baru."
Mata
Siburju berbinar. "Benarkah? Apa itu tidak berbahaya?"
"Semua
tergantung pada hatimu, Siburju. Jika kau cukup kuat, kau akan mendapatkan
sesuatu yang lebih dari yang kau impikan. Tapi ingat, jangan biarkan hatimu
diliputi keserakahan."
Tanpa
berpikir panjang, Siburju bergegas pergi ke Pohon Keramat. Ia bertekad untuk
bertapa dan membuktikan bahwa ia juga berhak mendapatkan kehidupan yang lebih
baik.
***
Pertapaan
di Pohon Keramat
Hari demi
hari berlalu. Siburju menahan lapar, haus, dan kelelahan. Ia tidak bergerak
sedikit pun, tetap dalam posisi bersila, matanya tertutup, merasakan setiap
detik kesunyian yang membelenggunya.
Pada hari
ke-100, angin bertiup kencang. Langit berubah gelap. Sebuah cahaya biru muncul
di hadapan Siburju. Dari dalam cahaya itu, sosok tinggi berjubah hitam muncul
dengan membawa sebuah teko emas yang berkilauan.
"Siburju...
kesabaranmu telah teruji," suara sosok itu menggema. "Ambillah teko
ini. Setiap harinya, ia akan mengabulkan satu permintaanmu, tetapi ingat...
segala sesuatu ada harga yang harus dibayar."
Dengan
tangan gemetar, Siburju menerima teko emas itu. Saat ia menyentuhnya, tubuhnya
dipenuhi energi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tersenyum penuh
kemenangan.
"Akhirnya...
aku tidak akan miskin lagi!" serunya dalam hati.
Namun,
tanpa sepengetahuannya, di kejauhan, Nasattak mengintai dengan penuh iri.
"Jadi, ini hadiah yang ia dapatkan? Kalau aku memiliki teko itu, aku bisa
menjadi penguasa yang lebih besar lagi!" pikir Nasattak.
Di malam
yang sama, Nasattak menyelinap ke hutan dan mencuri teko emas dari tangan
Siburju yang tengah tertidur karena kelelahan. Esok paginya, saat Siburju
terbangun, ia mendapati teko emasnya hilang.
"Tidak!
Teko itu... di mana?!" Ia berteriak dengan panik.
Ia
berlari ke desa, mencari-cari siapa yang mengambilnya. Namun, saat ia tiba di
rumah Nasattak, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri—Nasattak sedang
memegang teko itu, mengeluarkan koin emas dari dalamnya.
"Kau...
kau mencuri milikku!" teriak Siburju marah.
Nasattak
tertawa. "Aku hanya mengambil apa yang lebih pantas untukku. Dengan teko
ini, aku bisa membuat desa ini lebih kaya. Kau? Kau hanyalah pemuda lemah yang
tidak pantas memiliki benda ini!"
"Tidak!
Teko itu milikku! Kembalikan!" Siburju mencoba merebutnya, tetapi para
pengawal Nasattak menyeretnya dan membuangnya ke luar desa.
***
Siburju
berjalan tak tentu arah di tengah hutan. Air matanya mengalir deras. Tanpa ia
sadari, ia kembali ke Pohon Keramat. Ia berlutut, menangis tersedu-sedu.
"Aku
telah dikhianati! Aku hanya ingin kehidupan yang lebih baik! Aku hanya ingin
dihargai! Kenapa semua orang membenciku?!" raungnya dengan penuh
kebencian.
Langit
kembali gelap. Angin berputar di sekelilingnya. Dari dalam pohon, suara
bergema, "Jika kau menginginkan kekuatan... jika kau ingin membalas
dendammu... aku bisa membantumu..."
Siburju
mendongak. Mata merah menyala muncul dari dalam batang pohon. Ia merasa
tubuhnya ditarik masuk ke dalam kegelapan.
"Apa
kau bersedia membayar harga untuk mendapatkan kekuatan?" suara itu
bertanya.
Tanpa
ragu, Siburju menjawab, "Ya! Aku rela! Aku akan membalaskan dendamku! Aku
ingin mereka semua menderita seperti aku!"
Seketika,
tubuhnya terasa seperti terbakar. Ia berteriak kesakitan, tetapi ia tidak bisa
menolak. Ia merasa jiwanya terpecah menjadi dua—sisi baiknya menangis dalam
kesedihan, sementara sisi jahatnya tertawa puas.
Saat ia
terbangun, ia bukan lagi Siburju. Ia telah menjadi sesuatu yang lebih kuat,
lebih mengerikan.
Ia telah
menjadi Raja Iblis.
***
Bertahun-tahun
kemudian, Raja Iblis menguasai kegelapan, tetapi ia tidak bisa kembali ke dunia
manusia. Ia sadar, satu-satunya cara untuk kembali adalah dengan darah
keturunannya yang tertetes di altar batu Pohon Keramat. Itulah sebabnya ia merasuki
Cokgom dan mengendalikan desa dalam bayangannya.
Namun,
ada satu hal yang tidak ia perhitungkan.
Sisi
baiknya, yang masih tersegel di dunia lain, telah bereinkarnasi.
Ia telah
lahir kembali sebagai Anjuna.
Dan
inilah awal dari pertempuran mereka.
***
Kembali ke kenyataan, pertarungan supranatural antara Anjuna dan Cokgom yang
telah dirasuki Raja Iblis dimulai. Tubuh mereka melayang ke udara, setinggi
atap rumah, dengan energi berlawanan yang saling menghantam. Anjuna, yang kini
dikuasai sisi baik dari Raja Iblis, berusaha menghentikan amukan sisi jahat
yang menguasai tubuh Cokgom. Ledakan energi terjadi di udara, membuat tanah di
bawah mereka retak.
"Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan desa ini!" teriak
Anjuna seraya melepaskan gelombang energi hijau dari tangannya.
Cokgom, atau lebih tepatnya Raja Iblis dalam dirinya, hanya tertawa.
"Kau tidak bisa menghentikanku, Anjuna! Aku telah menunggu terlalu lama
untuk kembali!"
Cokgom melesat ke arah Anjuna dengan kecepatan luar biasa, tinjunya yang
berselimut api hitam menghantam perisai energi yang Anjuna buat. Dentuman keras
terdengar, memecahkan jendela-jendela rumah di sekitarnya. Anjuna terdorong ke
belakang, darah merembes dari sudut bibirnya.
Namun, ia tidak menyerah. Dengan cepat, ia merapal mantra kuno dan
menebaskan tangannya ke udara, membentuk simbol suci yang berpendar terang.
Cahaya itu menghantam Cokgom, membuat tubuhnya bergetar hebat.
"ARGHHH!!" Raja Iblis meraung kesakitan, tetapi ia tidak menyerah.
Ia mengumpulkan energi hitam di kedua tangannya dan menghempaskannya ke tanah.
Ledakan besar terjadi. Tanah di sekitar mereka terbelah, menciptakan jurang
yang menganga. Beberapa warga berteriak ketakutan, mencoba menjauh dari area
pertarungan yang semakin ganas.
Anjuna jatuh berlutut, napasnya memburu. Cokgom melangkah mendekatinya,
matanya bersinar merah menyala. "Akhirnya… waktumu sudah habis!"
Tepat saat Cokgom hendak menghabisi Anjuna, tiba-tiba sebuah cahaya biru
muncul di antara mereka berdua. Dari dalam cahaya tersebut, muncul seorang pemuda
bertubuh kekar dengan wajah penuh luka tetapi matanya bening. Seorang wanita
tua berteriak histeris, "Siburju, anakku!" Suaranya menggema di
seluruh desa.
Begitu
Siburju menapakkan kakinya ke tanah, udara di sekitar mulai bergetar hebat.
Pusaran angin berwarna biru terang terbentuk di tengah desa, menyedot debu,
batu, dan bahkan rumah-rumah yang berdiri kokoh. Langit berubah warna,
bergemuruh dengan petir merah yang menyambar tanpa arah.
Warga
desa berteriak panik, tubuh mereka mulai melayang, tertarik ke dalam pusaran
yang semakin membesar. Beberapa mencoba berpegangan pada apapun yang bisa
mereka jangkau—pagar kayu, akar pohon, atau reruntuhan rumah—tetapi satu per
satu mereka tersedot ke dalam kekosongan yang tak terlihat.
Di tengah kekacauan itu, waktu tiba-tiba terasa melambat. Anjuna, yang sebelumnya terkapar di tanah, merasakan tubuhnya menjadi ringan. Ketika ia membuka matanya, ia melihat pecahan-pecahan cahaya seperti kaca yang melayang di udara. Di dalam setiap pecahan, terdapat bayangan kejadian-kejadian masa lalu yang terus berulang:
Siburju kecil yang menangis di bawah pohon karena kelaparan. Nasattak
muda yang tersenyum licik saat mengambil teko emas. Cokgom yang memeluk
istrinya sebelum semuanya berubah. Anjuna sendiri, yang berlatih cenayang di
tepian sungai saat kecil.
"Apa
yang terjadi?" gumam Anjuna, suaranya bergema dalam kehampaan.
Suara
berat terdengar dari dalam pusaran, "Waktu telah retak… dan akan membentuk
jalannya sendiri."
Tiba-tiba,
semuanya runtuh. Anjuna merasa dirinya jatuh dalam kehampaan tanpa akhir.
Tubuhnya melewati berbagai lapisan dimensi, seperti terperangkap dalam sungai
waktu yang deras.
Ketika ia
membuka matanya kembali, ia berada di tempat yang sama—di depan Pohon Keramat.
Namun, desa Krishitang masih utuh. Langit cerah, burung-burung berkicau, dan
anak-anak berlari-lari di sekitar rumah-rumah beratap jerami.
Ia
menyadari sesuatu. Ini bukan lagi masa kini.
Ia telah
kembali ke enam puluh tahun yang lalu, tepat sebelum semuanya dimulai.
Ketika
pusaran waktu menghilang, keheningan menggantung di udara. Siburju berdiri di
depan Pohon Keramat, napasnya memburu. Tidak ada kehancuran, tidak ada
pertempuran—hanya sunyi yang mencekam. Saat ia melihat ke sekeliling, hatinya
mencelos.
Semua
ini… enam puluh tahun yang lalu.
Ia
mengenali pemandangan itu—desa yang masih utuh, angin yang berembus lembut, dan
suara gemericik sungai di kejauhan. Di hadapannya, seorang pria muda dengan
wajah yang tak asing menghampiri. Nasattak, kakaknya, masih dalam usia
kejayaannya.
“Teko ini
milikmu,” kata Nasattak seraya menyodorkan teko emas yang berkilauan di bawah
sinar bulan. Suaranya lirih, nyaris bergetar. “Sekarang giliranmu, adikku.
Semoga kau mampu memperbaikinya.”
Siburju
hendak mengulurkan tangan, tetapi sesuatu di dalam dirinya menjerit. Ada yang
salah.
Angin
berhembus lebih kencang, membawa suara samar di kejauhan. Semakin lama, semakin
jelas. Jeritan seorang wanita—penuh rasa putus asa.
"Jangan
terima teko itu!"
Dari
kegelapan, seorang wanita tua berlari terhuyung. Wajahnya basah oleh air mata,
rambutnya kusut diterpa angin. Suaranya pecah, penuh ketakutan.
"Jangan
ulangi kesalahan ini!"
Cahaya
biru yang tak wajar muncul di belakangnya. Angin menggila, menyedot tubuh
wanita tua itu seperti kabut yang tersapu angin. Dalam sekejap, ia
menghilang—hanya meninggalkan gema tangisnya di udara.
Siburju
terpaku. Matanya beralih ke teko emas yang kini telah berada di tangannya.
Jari-jarinya gemetar.
Waktu
tidak bisa diulang kembali…
Kecuali…
Ia
mencengkeram teko itu erat. Rahangnya mengeras. Ada sesuatu yang berbeda kali
ini. Sebuah pilihan yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.
Dan ia
akan memastikan sejarah tidak berulang.