Notification

×

Iklan

EID MUBARAK

KIRIM TULISAN 1S PINK

Iklan 728x90

FILLO MAGZ

BISNIS YOK

Alwaqt Lilmihwar

Kamis, 13 Februari 2025 | Februari 13, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-28T14:46:33Z

Cerita Sambung

Al 'Alamul Aswad

Episode 4: Alwaqt Lilmihwar

oleh Erwinsyah Putra

Suasana duka yang seharusnya membawa ketenangan berubah menjadi api kebencian yang tak terkendali. Cokgom, yang kini telah dikuasai oleh Raja Iblis, berdiri di tengah rumah duka dengan mata merah membara. Dengan suara berat yang mengguncang jiwa setiap warga, ia mengarahkan telunjuknya ke arah Tiop.

"Kaulah pembunuh istriku! Kau juga membunuh anakku!" teriaknya lantang.

Warga yang telah dikuasai oleh aura jahat Raja Iblis mulai kehilangan akal sehat mereka. Di antara isak tangis dan desahan duka, terdengar teriakan-teriakan penuh amarah. Sejumlah orang mulai mendekat ke arah Tiop dengan kayu dan batu di tangan mereka.

Namun, Tiop bukanlah lelaki yang mudah menyerah. Meskipun tubuhnya mulai lemah dan darah mengalir dari luka-lukanya, ia bertahan. Dengan sisa tenaganya, ia melawan warga yang telah termanipulasi. Satu per satu, ia menghindari pukulan dan membalas serangan mereka dengan strategi bertahan yang luar biasa. Saat nyaris tumbang, Anjuna yang telah sadar dari kelelahan cenayangnya berteriak lantang.

"Hentikan semua ini! Itu bukan Cokgom! Dia telah dirasuki Raja Iblis!"

Warga yang masih memiliki sedikit kesadaran mulai terhenti. Dalam pandangan supranaturalnya, Anjuna melihat kebenaran—Cokgom bukan lagi manusia biasa. Ia juga melihat masa lalu yang menyayat hati. Dalam cenayangnya, ia memahami bahwa Raja Iblis adalah jiwa yang terbelah, di mana satu sisi terjebak dalam amarah, sementara sisi lainnya masih memiliki kebaikan yang tersisa.

***

Di Desa Krishitang, 60 Tahun yang Lalu

Siburju adalah pemuda miskin yang hidup sebatang kara. Sejak kecil, ia sering dihina dan dikucilkan oleh warga desa karena tidak memiliki harta dan dianggap membawa sial. Satu-satunya orang yang menyayanginya adalah ibunya, seorang wanita tua renta yang selalu menghiburnya setiap malam di depan perapian rumah mereka yang hampir roboh.

Suatu malam, Siburju duduk termenung di tepi sungai, menatap bulan yang bersinar di langit.

"Apa aku memang tidak berguna? Apa aku memang ditakdirkan untuk hidup miskin dan terhina?" gumamnya pelan.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Seorang lelaki gagah berwibawa datang menghampirinya. Ia adalah Nasattak, kepala desa pertama Krishitang.

"Siburju," panggil Nasattak. "Aku tahu kau bukan pemuda biasa. Kau memiliki tekad yang kuat. Jika kau ingin mengubah takdirmu, ada satu cara."

Siburju menatap Nasattak dengan penuh harap. "Apa itu, Tuan Kepala Desa? Aku akan melakukan apa saja!"

Nasattak tersenyum tipis. "Di hutan sebelah timur desa, ada Pohon Keramat yang dipercaya menyimpan kekuatan luar biasa. Jika kau bertapa di sana selama 100 hari, seorang makhluk dari dunia lain akan datang dan memberimu ganjaran. Kau akan mendapatkan harta, kekuatan, atau bahkan kehidupan baru."

Mata Siburju berbinar. "Benarkah? Apa itu tidak berbahaya?"

"Semua tergantung pada hatimu, Siburju. Jika kau cukup kuat, kau akan mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang kau impikan. Tapi ingat, jangan biarkan hatimu diliputi keserakahan."

Tanpa berpikir panjang, Siburju bergegas pergi ke Pohon Keramat. Ia bertekad untuk bertapa dan membuktikan bahwa ia juga berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

***

Pertapaan di Pohon Keramat

Hari demi hari berlalu. Siburju menahan lapar, haus, dan kelelahan. Ia tidak bergerak sedikit pun, tetap dalam posisi bersila, matanya tertutup, merasakan setiap detik kesunyian yang membelenggunya.

Pada hari ke-100, angin bertiup kencang. Langit berubah gelap. Sebuah cahaya biru muncul di hadapan Siburju. Dari dalam cahaya itu, sosok tinggi berjubah hitam muncul dengan membawa sebuah teko emas yang berkilauan.

Promo Diskon 50%

Promo Diskon 50%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

"Siburju... kesabaranmu telah teruji," suara sosok itu menggema. "Ambillah teko ini. Setiap harinya, ia akan mengabulkan satu permintaanmu, tetapi ingat... segala sesuatu ada harga yang harus dibayar."

Dengan tangan gemetar, Siburju menerima teko emas itu. Saat ia menyentuhnya, tubuhnya dipenuhi energi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tersenyum penuh kemenangan.

"Akhirnya... aku tidak akan miskin lagi!" serunya dalam hati.

Namun, tanpa sepengetahuannya, di kejauhan, Nasattak mengintai dengan penuh iri. "Jadi, ini hadiah yang ia dapatkan? Kalau aku memiliki teko itu, aku bisa menjadi penguasa yang lebih besar lagi!" pikir Nasattak.

Di malam yang sama, Nasattak menyelinap ke hutan dan mencuri teko emas dari tangan Siburju yang tengah tertidur karena kelelahan. Esok paginya, saat Siburju terbangun, ia mendapati teko emasnya hilang.

"Tidak! Teko itu... di mana?!" Ia berteriak dengan panik.

Ia berlari ke desa, mencari-cari siapa yang mengambilnya. Namun, saat ia tiba di rumah Nasattak, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri—Nasattak sedang memegang teko itu, mengeluarkan koin emas dari dalamnya.

"Kau... kau mencuri milikku!" teriak Siburju marah.

Nasattak tertawa. "Aku hanya mengambil apa yang lebih pantas untukku. Dengan teko ini, aku bisa membuat desa ini lebih kaya. Kau? Kau hanyalah pemuda lemah yang tidak pantas memiliki benda ini!"

"Tidak! Teko itu milikku! Kembalikan!" Siburju mencoba merebutnya, tetapi para pengawal Nasattak menyeretnya dan membuangnya ke luar desa.

***

Siburju berjalan tak tentu arah di tengah hutan. Air matanya mengalir deras. Tanpa ia sadari, ia kembali ke Pohon Keramat. Ia berlutut, menangis tersedu-sedu.

"Aku telah dikhianati! Aku hanya ingin kehidupan yang lebih baik! Aku hanya ingin dihargai! Kenapa semua orang membenciku?!" raungnya dengan penuh kebencian.

Langit kembali gelap. Angin berputar di sekelilingnya. Dari dalam pohon, suara bergema, "Jika kau menginginkan kekuatan... jika kau ingin membalas dendammu... aku bisa membantumu..."

Siburju mendongak. Mata merah menyala muncul dari dalam batang pohon. Ia merasa tubuhnya ditarik masuk ke dalam kegelapan.

"Apa kau bersedia membayar harga untuk mendapatkan kekuatan?" suara itu bertanya.

Tanpa ragu, Siburju menjawab, "Ya! Aku rela! Aku akan membalaskan dendamku! Aku ingin mereka semua menderita seperti aku!"

Seketika, tubuhnya terasa seperti terbakar. Ia berteriak kesakitan, tetapi ia tidak bisa menolak. Ia merasa jiwanya terpecah menjadi dua—sisi baiknya menangis dalam kesedihan, sementara sisi jahatnya tertawa puas.

Saat ia terbangun, ia bukan lagi Siburju. Ia telah menjadi sesuatu yang lebih kuat, lebih mengerikan.

Ia telah menjadi Raja Iblis.

***

Bertahun-tahun kemudian, Raja Iblis menguasai kegelapan, tetapi ia tidak bisa kembali ke dunia manusia. Ia sadar, satu-satunya cara untuk kembali adalah dengan darah keturunannya yang tertetes di altar batu Pohon Keramat. Itulah sebabnya ia merasuki Cokgom dan mengendalikan desa dalam bayangannya.

Namun, ada satu hal yang tidak ia perhitungkan.

Sisi baiknya, yang masih tersegel di dunia lain, telah bereinkarnasi.

Ia telah lahir kembali sebagai Anjuna.

Dan inilah awal dari pertempuran mereka.

***

Kembali ke kenyataan, pertarungan supranatural antara Anjuna dan Cokgom yang telah dirasuki Raja Iblis dimulai. Tubuh mereka melayang ke udara, setinggi atap rumah, dengan energi berlawanan yang saling menghantam. Anjuna, yang kini dikuasai sisi baik dari Raja Iblis, berusaha menghentikan amukan sisi jahat yang menguasai tubuh Cokgom. Ledakan energi terjadi di udara, membuat tanah di bawah mereka retak.

"Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan desa ini!" teriak Anjuna seraya melepaskan gelombang energi hijau dari tangannya.

Cokgom, atau lebih tepatnya Raja Iblis dalam dirinya, hanya tertawa. "Kau tidak bisa menghentikanku, Anjuna! Aku telah menunggu terlalu lama untuk kembali!"

Cokgom melesat ke arah Anjuna dengan kecepatan luar biasa, tinjunya yang berselimut api hitam menghantam perisai energi yang Anjuna buat. Dentuman keras terdengar, memecahkan jendela-jendela rumah di sekitarnya. Anjuna terdorong ke belakang, darah merembes dari sudut bibirnya.

Namun, ia tidak menyerah. Dengan cepat, ia merapal mantra kuno dan menebaskan tangannya ke udara, membentuk simbol suci yang berpendar terang. Cahaya itu menghantam Cokgom, membuat tubuhnya bergetar hebat.

"ARGHHH!!" Raja Iblis meraung kesakitan, tetapi ia tidak menyerah. Ia mengumpulkan energi hitam di kedua tangannya dan menghempaskannya ke tanah.

Ledakan besar terjadi. Tanah di sekitar mereka terbelah, menciptakan jurang yang menganga. Beberapa warga berteriak ketakutan, mencoba menjauh dari area pertarungan yang semakin ganas.

Anjuna jatuh berlutut, napasnya memburu. Cokgom melangkah mendekatinya, matanya bersinar merah menyala. "Akhirnya… waktumu sudah habis!"

Tepat saat Cokgom hendak menghabisi Anjuna, tiba-tiba sebuah cahaya biru muncul di antara mereka berdua. Dari dalam cahaya tersebut, muncul seorang pemuda bertubuh kekar dengan wajah penuh luka tetapi matanya bening. Seorang wanita tua berteriak histeris, "Siburju, anakku!" Suaranya menggema di seluruh desa.

Begitu Siburju menapakkan kakinya ke tanah, udara di sekitar mulai bergetar hebat. Pusaran angin berwarna biru terang terbentuk di tengah desa, menyedot debu, batu, dan bahkan rumah-rumah yang berdiri kokoh. Langit berubah warna, bergemuruh dengan petir merah yang menyambar tanpa arah.

Warga desa berteriak panik, tubuh mereka mulai melayang, tertarik ke dalam pusaran yang semakin membesar. Beberapa mencoba berpegangan pada apapun yang bisa mereka jangkau—pagar kayu, akar pohon, atau reruntuhan rumah—tetapi satu per satu mereka tersedot ke dalam kekosongan yang tak terlihat.

Di tengah kekacauan itu, waktu tiba-tiba terasa melambat. Anjuna, yang sebelumnya terkapar di tanah, merasakan tubuhnya menjadi ringan. Ketika ia membuka matanya, ia melihat pecahan-pecahan cahaya seperti kaca yang melayang di udara. Di dalam setiap pecahan, terdapat bayangan kejadian-kejadian masa lalu yang terus berulang: 

Siburju kecil yang menangis di bawah pohon karena kelaparan. Nasattak muda yang tersenyum licik saat mengambil teko emas. Cokgom yang memeluk istrinya sebelum semuanya berubah. Anjuna sendiri, yang berlatih cenayang di tepian sungai saat kecil.

"Apa yang terjadi?" gumam Anjuna, suaranya bergema dalam kehampaan.

Suara berat terdengar dari dalam pusaran, "Waktu telah retak… dan akan membentuk jalannya sendiri."

Tiba-tiba, semuanya runtuh. Anjuna merasa dirinya jatuh dalam kehampaan tanpa akhir. Tubuhnya melewati berbagai lapisan dimensi, seperti terperangkap dalam sungai waktu yang deras.

Ketika ia membuka matanya kembali, ia berada di tempat yang sama—di depan Pohon Keramat. Namun, desa Krishitang masih utuh. Langit cerah, burung-burung berkicau, dan anak-anak berlari-lari di sekitar rumah-rumah beratap jerami.

Ia menyadari sesuatu. Ini bukan lagi masa kini.

Ia telah kembali ke enam puluh tahun yang lalu, tepat sebelum semuanya dimulai.

Ketika pusaran waktu menghilang, keheningan menggantung di udara. Siburju berdiri di depan Pohon Keramat, napasnya memburu. Tidak ada kehancuran, tidak ada pertempuran—hanya sunyi yang mencekam. Saat ia melihat ke sekeliling, hatinya mencelos.

Semua ini… enam puluh tahun yang lalu.

Ia mengenali pemandangan itu—desa yang masih utuh, angin yang berembus lembut, dan suara gemericik sungai di kejauhan. Di hadapannya, seorang pria muda dengan wajah yang tak asing menghampiri. Nasattak, kakaknya, masih dalam usia kejayaannya.

“Teko ini milikmu,” kata Nasattak seraya menyodorkan teko emas yang berkilauan di bawah sinar bulan. Suaranya lirih, nyaris bergetar. “Sekarang giliranmu, adikku. Semoga kau mampu memperbaikinya.”

Siburju hendak mengulurkan tangan, tetapi sesuatu di dalam dirinya menjerit. Ada yang salah.

Angin berhembus lebih kencang, membawa suara samar di kejauhan. Semakin lama, semakin jelas. Jeritan seorang wanita—penuh rasa putus asa.

"Jangan terima teko itu!"

Dari kegelapan, seorang wanita tua berlari terhuyung. Wajahnya basah oleh air mata, rambutnya kusut diterpa angin. Suaranya pecah, penuh ketakutan.

"Jangan ulangi kesalahan ini!"

Promo Diskon 50%

Promo Diskon 50%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

Cahaya biru yang tak wajar muncul di belakangnya. Angin menggila, menyedot tubuh wanita tua itu seperti kabut yang tersapu angin. Dalam sekejap, ia menghilang—hanya meninggalkan gema tangisnya di udara.

Siburju terpaku. Matanya beralih ke teko emas yang kini telah berada di tangannya. Jari-jarinya gemetar.

Waktu tidak bisa diulang kembali…

Kecuali…

Ia mencengkeram teko itu erat. Rahangnya mengeras. Ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sebuah pilihan yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.

Dan ia akan memastikan sejarah tidak berulang.

×
Duta Huskus

BELI PARFUM INI, KAMI KEMBALIKAN Rp.108.000/ HARI

SYARATNYA KLIK INI