Cerita Pendek
Biskuit Pembuka Roti
oleh Erwinsyah Putra
Hujan turun deras di jendela gedung pusat keuangan PT Nusantara Energi. Di dalam ruangan berlampu temaram, Cahyono Purnomo, Komisaris Pertama perusahaan itu, menatap layar laptopnya dengan dahi berkerut. Laporan keuangan yang baru saja dikirim Adam Afsana dari bidang penganggaran menunjukkan kejanggalan yang sulit diabaikan.
Angka-angka itu seperti bayangan yang tak seharusnya ada.
"Ini bukan sekadar kesalahan pembukuan biasa," gumamnya.
Tak lama, pintu ruangannya diketuk. Sawitri Adya, kepala bidang dana keluar, masuk dengan ekspresi tegang.
“Pak Cahyono, saya baru saja menemukan dokumen transaksi mencurigakan. Ada dana proyek senilai triliunan rupiah yang mengalir ke perusahaan yang… tidak ada,” katanya, meletakkan beberapa berkas di meja.
Cahyono membuka berkas itu. Nama-nama penerima dana tersebut tidak asing baginya. Salah satunya adalah Indra Setyowan, Direktur Utama PT Nusantara Energi—atasannya sendiri.
“Indra…” gumam Cahyono, kecewa.
Dan lebih mengejutkan lagi, di balik skema ini, ada nama lain yang ikut bermain: Randa Avoseralla, salah satu petinggi BPK.
—
Adam Afsana duduk di meja kerjanya, mencoba menelusuri transaksi mencurigakan itu lebih dalam. Malam sebelumnya, ia menerima email anonim berisi dokumen yang menunjukkan bahwa dana proyek energi terbarukan senilai Rp 4,7 triliun tidak pernah benar-benar digunakan sesuai rencana. Dana itu, lewat serangkaian perusahaan cangkang, mengalir ke rekening pribadi Indra dan beberapa oknum di BPK.
“Randa Avoseralla…” Adam bergumam, mengetik nama itu di mesin pencari internal.
Randa dikenal sebagai pejabat yang lihai, wajahnya sering muncul di media berbicara tentang transparansi dan efisiensi anggaran. Tapi, kini Adam tahu, di balik itu semua, ia adalah dalang dari permainan kotor ini.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal.
“Jangan terlalu dalam menggali, Adam. Kamu tahu konsekuensinya.”
Klik.
Adam menggenggam ponselnya erat.
Ia tahu, semakin dalam ia menggali, semakin besar bahaya yang mengintainya.
—
Perang di Balik Meja Konferensi
Keesokan paginya, rapat direksi berlangsung di ruang utama. Cahyono duduk di ujung meja, menatap Indra Setyowan yang berbicara dengan percaya diri.
“Kita harus terus melanjutkan proyek ini dengan fokus. Keuangan perusahaan dalam kondisi baik, dan…”
Cahyono berdehem, menyela, lalu meletakkan berkas di meja.
“Kondisi baik, Pak Indra? Saya rasa kita harus bicara tentang transfer dana sebesar Rp 4,7 triliun yang lenyap entah ke mana.”
Ruang rapat seketika sunyi.
Indra menegang, tapi dengan cepat tersenyum. "Apa maksud Anda, Pak Komisaris?"
Cahyono membuka berkas berikutnya.
"Ini dokumen dari Bidang Dana Keluar, bukti transaksi ke perusahaan fiktif. Dan ini laporan dari Adam Afsana. Semua data mencurigakan ini menuju ke satu nama utama: Anda."
Indra tertawa kecil, tetapi matanya penuh ancaman. "Berhati-hatilah, Pak Cahyono. Anda menuduh tanpa bukti kuat."
Sawitri, yang sedari tadi diam, berbicara. “Kami punya lebih dari cukup bukti. Dan kami sudah menghubungi KPK.”
Indra mengepalkan tangannya di bawah meja.
—
Keadilan atau Kematian?
Tengah malam, Adam dalam perjalanan pulang ketika ia menyadari sebuah mobil hitam mengikuti dari kejauhan. Ia mempercepat langkahnya menuju apartemen, tetapi langkah kaki di belakangnya terdengar semakin cepat.
Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar: “Jangan melawan. Hentikan, atau nyawamu jadi taruhannya.”
Adam berbalik, dan dalam sekejap, segalanya menjadi gelap.
—
Epilog: Pagi yang Baru
Tiga minggu kemudian, berita penangkapan Indra Setyowan dan Randa Avoseralla memenuhi media nasional. Adam, yang selamat dari upaya penculikan, masih harus menjalani perawatan, tetapi ia tersenyum puas.
Di depan kantornya, Cahyono dan Sawitri menatap langit pagi.
“Masih banyak pertarungan yang harus kita menangkan,” ujar Cahyono.
Sawitri mengangguk. “Tapi hari ini, kita sudah selangkah lebih dekat ke keadilan.”