Notification

×

Iklan

EID MUBARAK

KIRIM TULISAN 1S PINK

Iklan 728x90

FILLO MAGZ

BISNIS YOK

Ramadhan Tanpa Bulan

Jumat, 28 Februari 2025 | Februari 28, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-03-01T09:34:25Z

 

Cerita Pendek

Ramadhan Tanpa Bulan

oleh Erwinsyah Putra

Ramadhan menatap langit yang perlahan berubah warna. Cahaya keemasan menyapu ujung atap rumah-rumah, sebelum ditelan oleh kegelapan yang mulai turun perlahan. Hembusan angin sore membawa aroma khas bulan suci: wangi kolak pisang dari dapur rumah-rumah tetangga, suara azan Maghrib yang menggema di kejauhan, serta tawa anak-anak yang berlarian membawa plastik berisi es buah.

Namun, Ramadhan tetap duduk diam di dekat jendela rumahnya, memeluk kedua lututnya. Di tangannya, ada secangkir teh manis yang mengepul, tetapi ia tak kunjung menyesapnya. Hanya menatap kosong ke luar, membiarkan pikirannya melayang ke suatu tempat yang jauh.

Ini adalah Ramadhan pertamanya tanpa ibu.

Di dapur, terdengar suara piring dan sendok yang beradu pelan. Ayahnya tengah menyiapkan hidangan berbuka. Biasanya, saat-saat seperti ini, ibulah yang akan sibuk di sana, menyiapkan makanan favorit mereka, menata meja makan dengan rapi, lalu tersenyum hangat kepadanya.

Ramadhan menghela napas panjang. Tahun ini berbeda.

Tahun ini, rumah terasa terlalu luas, terlalu sunyi.

***

Ramadhan masih mengingat dengan jelas hari ketika semuanya berubah. Ibunya selalu menjadi sosok yang ceria, penuh semangat, dan tak pernah sekalipun mengeluh meski harus bekerja keras untuk keluarga. Tetapi, beberapa bulan lalu, sesuatu yang aneh mulai terjadi.

Promo Diskon

Promo Diskon 35%! Klik gambar di atas untuk mendapatkan diskon spesial.

Ibunya mulai sering batuk. Bukan batuk biasa, tapi batuk yang terdengar dalam, berat, dan tak kunjung sembuh. Kulitnya semakin pucat, tubuhnya semakin kurus, seakan ada sesuatu yang perlahan-lahan menggerogoti kehidupannya.

"Ibu baik-baik saja, Nak," katanya suatu malam, ketika Ramadhan memerhatikan wajahnya yang mulai kehilangan sinar. "Mungkin hanya kecapekan."

Namun, batuknya semakin parah.

Suatu malam, Ramadhan terbangun mendengar suara batuk keras dari kamar sebelah. Ia berlari ke kamar ibunya dan melihat ibunya membungkuk, menutupi mulutnya dengan tangan. Saat tangannya terangkat, Ramadhan bisa melihat noda merah pekat di telapak tangan ibunya.

Darah.

Malam itu juga, mereka pergi ke rumah sakit.

Dokter memberikan kabar yang mengguncang seluruh dunia Ramadhan.

"Kanker paru-paru stadium akhir."

Hanya empat kata. Tapi empat kata itu cukup untuk meruntuhkan segala harapan dan kebahagiaan yang pernah ia miliki.

***

Hari-hari setelahnya menjadi kabur. Rumah sakit menjadi rumah kedua bagi mereka. Ibu menjalani berbagai pengobatan, tetapi tubuhnya semakin lemah dari hari ke hari.

Ramadhan mulai terbiasa dengan suara alat-alat medis, bau desinfektan, serta pemandangan ibunya yang terbaring dengan selang infus di lengannya.

"Ibu pasti sembuh, kan?" tanyanya suatu hari, suaranya lirih.

Ibunya tersenyum, meski wajahnya terlihat lelah. "Tentu, Nak. Ibu akan sembuh."

Tapi kata-kata itu lebih terdengar seperti harapan kosong.

Ramadhan berdoa setiap malam. Ia percaya keajaiban. Tapi keajaiban itu tak pernah datang.

Suatu hari, dokter memanggil ayahnya ke ruangan khusus. Ketika ayahnya keluar, wajahnya penuh kesedihan yang selama ini berusaha ia sembunyikan.

"Ayah…" Ramadhan menatapnya dengan penuh harap. "Ibu akan sembuh, kan?"

Ayahnya mengusap kepala Ramadhan, tapi tak ada jawaban.

Dan itulah hari di mana Ramadhan menyadari sesuatu yang selama ini berusaha ia tolak: ibunya akan pergi.

***

Hari terakhir ibunya adalah hari yang tak akan pernah bisa ia lupakan.

Ibunya terbaring di ranjang rumah sakit, napasnya pendek dan berat. Selang oksigen terpasang di hidungnya, sementara monitor di sampingnya berbunyi pelan, menunjukkan bahwa kehidupannya hanya tersisa dalam hitungan waktu.

Ramadhan duduk di sampingnya, menggenggam tangannya yang semakin dingin.

"Ibu… nanti kita pulang, kan?" suaranya bergetar.

Ibunya tersenyum, meskipun dengan sisa tenaga yang hampir habis.

"Kita semua akan pulang, Nak… hanya saja, ibu harus pulang lebih dulu."

Ramadhan menggeleng, air matanya jatuh. "Tidak… ibu harus kuat. Kita bisa lawan penyakit ini…"

Namun, ibunya hanya mengusap pipinya dengan lemah.

"Kamu harus janji satu hal," katanya, suaranya nyaris tak terdengar. "Jangan biarkan kesedihan merenggut kebahagiaanmu. Hidup harus terus berjalan, Nak."

Kemudian, tangannya melemah, genggamannya terlepas.

Dan detik berikutnya, dunia Ramadhan berubah selamanya.

***

Sejak hari itu, rumah terasa berbeda. Setiap sudutnya masih menyimpan bayangan ibunya.

Bulan suci Ramadhan datang, tapi kali ini, rasanya seperti hanya sebuah pengingat akan kehilangan. Tak ada lagi suara ibunya yang membangunkannya untuk sahur, tak ada lagi tangan lembut yang mengusap kepalanya setelah salat tarawih.

Namun, ada satu hal yang masih tersisa: kolak pisang.

Ibunya selalu membuat kolak pisang setiap bulan Ramadhan. Itu adalah makanan favorit mereka berdua. Dan malam ini, ayahnya mencoba membuatnya untuk pertama kali.

Saat azan Maghrib berkumandang, Ramadhan menatap semangkuk kolak di hadapannya. Dengan tangan sedikit gemetar, ia mengambil sendok dan mencicipi sedikit.

Rasanya manis. Hangat.

Air matanya jatuh.

Ayahnya tak berkata apa-apa, hanya menepuk pundaknya pelan. Mereka makan dalam diam, tetapi kali ini, kesunyian itu tidak lagi terasa menyakitkan.

Di luar, langit gelap. Tapi di dalam hati Ramadhan, ada secercah cahaya yang mulai menyala kembali.

×
Duta Huskus

BELI PARFUM INI, KAMI KEMBALIKAN Rp.108.000/ HARI

SYARATNYA KLIK INI