Notification

×

Iklan

EID MUBARAK

KIRIM TULISAN 1S PINK

Iklan 728x90

FILLO MAGZ

BISNIS YOK

Antara Menjual Imanku atau Tubuhku

Rabu, 12 Maret 2025 | Maret 12, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-03-21T09:58:17Z

(Resensi/ Fillo-magz) Bagaimana jika surga yang dijanjikan justru terasa lebih menyesakkan daripada neraka? Bagaimana jika seorang gadis yang hidup di bawah bayang-bayang ayat suci justru menemukan kedamaian dalam dosa? Larasati, tokoh utama dalam "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" karya Muhidin M. Dahlan, bukanlah gambaran ideal dari seorang perempuan saleh. Ia adalah pemberontak yang menendang pintu moralitas dengan sepatu hak tinggi yang tak gentar menginjak batas-batas dogma.


Novel ini menampar wajah kemunafikan yang tersembunyi di balik jubah kesucian. Bagi Larasati, kemurnian bukanlah soal menahan nafsu atau mengunci hasrat di balik rapalan doa yang dipaksakan. Bukan pula soal hidup mengabdi pada aturan-aturan yang diteriakkan tanpa ketulusan. Sebaliknya, kemurnian adalah keberanian untuk menolak kemunafikan yang dilegalkan atas nama Tuhan. 


Dan jalan yang ia pilih, meski dianggap nista, adalah caranya untuk membuktikan bahwa kebebasan sejati tak bisa dibungkam oleh fatwa. Namun, apakah yang ia lakukan merupakan bentuk kebebasan atau justru wujud keterpurukan yang lebih dalam? "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" bukan sekadar novel. Ia adalah teriakan lantang dari seorang perempuan yang meruntuhkan paksa pagar-pagar suci yang selama ini mengurungnya. 


Sebuah pengakuan yang memaksa kita bertanya: Apakah yang lebih berdosa, mereka yang menjual tubuhnya, atau mereka yang menjual imannya demi kuasa?

Resensi Novel: "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!"
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Tahun Terbit: 2003 (Cetakan I)
Penerbit: Resist Book


Sinopsis Singkat: Novel ini menceritakan tentang Larasati, seorang gadis cerdas dan religius yang terlahir dari keluarga Muslim yang taat. Ia dibesarkan dalam lingkungan yang mengagungkan nilai-nilai agama dan moralitas. Namun, ketika ia memasuki dunia perkuliahan, hidupnya mulai terhempas ke dalam badai pertanyaan tentang iman, moral, dan kemunafikan yang ia lihat di sekitarnya. Larasati bergabung dengan sebuah kelompok dakwah kampus yang sangat ketat dalam menegakkan nilai-nilai agama. 


Namun, dalam prosesnya, ia menemukan banyak kontradiksi antara ajaran dan perilaku para anggotanya, khususnya para tokoh yang dianggap suci dan menjadi panutan. Puncak kekecewaan Larasati terjadi ketika ia menyadari bahwa moralitas yang diteriakkan oleh banyak pihak hanyalah topeng yang menyembunyikan kepentingan dan nafsu tersembunyi.


Perlahan tapi pasti, Larasati mulai memberontak dan melepaskan dirinya dari segala dogma yang mengungkungnya. Dalam proses pencarian jati diri tersebut, Larasati mengambil jalan yang dianggap hina oleh masyarakat: menjual tubuhnya. Namun, bagi Larasati, pilihan itu bukan sekadar soal kebebasan seksual, melainkan sebuah bentuk protes atas kemunafikan dan ketidakadilan yang ia alami. Tema dan Pesan: Novel ini menyinggung banyak tema sensitif, seperti kemunafikan agama, kebebasan perempuan, penindasan moral, dan pergulatan iman. 


Muhidin M. Dahlan mencoba mengkritik fenomena di mana ajaran agama seringkali dijadikan alat kekuasaan oleh pihak tertentu, tanpa mempertimbangkan kemanusiaan dan kebebasan individu. Di sisi lain, novel ini juga mengangkat isu kebebasan perempuan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri, meski dengan cara yang dianggap menyimpang oleh mayoritas masyarakat.


Gaya Bahasa: Muhidin M. Dahlan menggunakan bahasa yang tajam, eksplisit, namun tetap memiliki nilai sastra yang kuat. Dengan gaya penulisan yang lugas, ia mengajak pembaca untuk menyelami setiap keraguan, kemarahan, dan kekecewaan Larasati terhadap dunia yang dipenuhi dengan kontradiksi. Kelebihan: Mampu mengangkat topik yang tabu dengan cara yang lugas namun penuh dengan refleksi. 


Karakterisasi tokoh Larasati yang kompleks dan terasa hidup. Kritik sosial yang disampaikan terasa mengena dan relevan dengan berbagai fenomena di masyarakat. Kekurangan: Beberapa pembaca mungkin merasa terganggu dengan bahasa vulgar dan adegan-adegan eksplisit yang disajikan. Kritik yang disampaikan cenderung berat dan provokatif sehingga bisa dianggap tendensius bagi pembaca tertentu.


Kesimpulan: “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!” adalah novel yang tidak hanya sekadar menceritakan kisah pemberontakan seorang gadis terhadap norma sosial dan agama, tetapi juga menyuarakan refleksi tentang apa yang sebenarnya menjadi ukuran moralitas dan kebenaran. 


Karya ini mengundang diskusi panjang tentang kebebasan individu, ketulusan iman, dan kemunafikan yang mungkin tersembunyi di balik moralitas yang diagungkan oleh masyarakat. (Redaksi)

×
Duta Huskus

BELI PARFUM INI, KAMI KEMBALIKAN Rp.108.000/ HARI

SYARATNYA KLIK INI