(Resensi/ Fillo-magz) Bagaimana jika surga yang dijanjikan justru terasa lebih
menyesakkan daripada neraka? Bagaimana jika seorang gadis yang hidup di bawah
bayang-bayang ayat suci justru menemukan kedamaian dalam dosa? Larasati, tokoh
utama dalam "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" karya Muhidin M.
Dahlan, bukanlah gambaran ideal dari seorang perempuan saleh. Ia adalah
pemberontak yang menendang pintu moralitas dengan sepatu hak tinggi yang tak
gentar menginjak batas-batas dogma.
Novel ini menampar wajah kemunafikan yang tersembunyi di
balik jubah kesucian. Bagi Larasati, kemurnian bukanlah soal menahan nafsu atau
mengunci hasrat di balik rapalan doa yang dipaksakan. Bukan pula soal hidup
mengabdi pada aturan-aturan yang diteriakkan tanpa ketulusan. Sebaliknya,
kemurnian adalah keberanian untuk menolak kemunafikan yang dilegalkan atas nama
Tuhan.
Dan jalan yang ia pilih, meski dianggap nista, adalah caranya untuk
membuktikan bahwa kebebasan sejati tak bisa dibungkam oleh fatwa. Namun, apakah
yang ia lakukan merupakan bentuk kebebasan atau justru wujud keterpurukan yang
lebih dalam? "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" bukan sekadar
novel. Ia adalah teriakan lantang dari seorang perempuan yang meruntuhkan paksa
pagar-pagar suci yang selama ini mengurungnya.
Sebuah pengakuan yang memaksa
kita bertanya: Apakah yang lebih berdosa, mereka yang menjual tubuhnya, atau
mereka yang menjual imannya demi kuasa?
Resensi Novel: "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!"
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Tahun Terbit: 2003 (Cetakan I)
Penerbit: Resist Book
Sinopsis Singkat: Novel ini menceritakan tentang Larasati,
seorang gadis cerdas dan religius yang terlahir dari keluarga Muslim yang taat.
Ia dibesarkan dalam lingkungan yang mengagungkan nilai-nilai agama dan
moralitas. Namun, ketika ia memasuki dunia perkuliahan, hidupnya mulai
terhempas ke dalam badai pertanyaan tentang iman, moral, dan kemunafikan yang
ia lihat di sekitarnya. Larasati bergabung dengan sebuah kelompok dakwah kampus
yang sangat ketat dalam menegakkan nilai-nilai agama.
Namun, dalam prosesnya,
ia menemukan banyak kontradiksi antara ajaran dan perilaku para anggotanya,
khususnya para tokoh yang dianggap suci dan menjadi panutan. Puncak kekecewaan
Larasati terjadi ketika ia menyadari bahwa moralitas yang diteriakkan oleh
banyak pihak hanyalah topeng yang menyembunyikan kepentingan dan nafsu
tersembunyi.
Perlahan tapi pasti, Larasati mulai memberontak dan
melepaskan dirinya dari segala dogma yang mengungkungnya. Dalam proses
pencarian jati diri tersebut, Larasati mengambil jalan yang dianggap hina oleh
masyarakat: menjual tubuhnya. Namun, bagi Larasati, pilihan itu bukan sekadar
soal kebebasan seksual, melainkan sebuah bentuk protes atas kemunafikan dan
ketidakadilan yang ia alami. Tema dan Pesan: Novel ini menyinggung banyak tema
sensitif, seperti kemunafikan agama, kebebasan perempuan, penindasan moral, dan
pergulatan iman.
Muhidin M. Dahlan mencoba mengkritik fenomena di mana ajaran
agama seringkali dijadikan alat kekuasaan oleh pihak tertentu, tanpa
mempertimbangkan kemanusiaan dan kebebasan individu. Di sisi lain, novel ini
juga mengangkat isu kebebasan perempuan dalam menentukan jalan hidupnya
sendiri, meski dengan cara yang dianggap menyimpang oleh mayoritas masyarakat.
Gaya Bahasa: Muhidin M. Dahlan menggunakan bahasa yang tajam,
eksplisit, namun tetap memiliki nilai sastra yang kuat. Dengan gaya penulisan
yang lugas, ia mengajak pembaca untuk menyelami setiap keraguan, kemarahan, dan
kekecewaan Larasati terhadap dunia yang dipenuhi dengan kontradiksi. Kelebihan:
Mampu mengangkat topik yang tabu dengan cara yang lugas namun penuh dengan
refleksi.
Karakterisasi tokoh Larasati yang kompleks dan terasa hidup. Kritik
sosial yang disampaikan terasa mengena dan relevan dengan berbagai fenomena di
masyarakat. Kekurangan: Beberapa pembaca mungkin merasa terganggu dengan bahasa
vulgar dan adegan-adegan eksplisit yang disajikan. Kritik yang disampaikan
cenderung berat dan provokatif sehingga bisa dianggap tendensius bagi pembaca
tertentu.
Kesimpulan: “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!” adalah
novel yang tidak hanya sekadar menceritakan kisah pemberontakan seorang gadis
terhadap norma sosial dan agama, tetapi juga menyuarakan refleksi tentang apa
yang sebenarnya menjadi ukuran moralitas dan kebenaran.
Karya ini mengundang
diskusi panjang tentang kebebasan individu, ketulusan iman, dan kemunafikan
yang mungkin tersembunyi di balik moralitas yang diagungkan oleh masyarakat. (Redaksi)