Cerita Sambung Episode 32 – Api di Luar Badai di Dalam
Washington D.C., Gedung Putih – Rapat Darurat
Di ruang rapat Gedung Putih, suasana begitu tegang. Presiden Amerika Serikat, Robert Mitchell, menatap laporan di tangannya dengan ekspresi geram.
"Jadi, kalian mau bilang bahwa Indonesia benar-benar berhasil lepas dari sistem keuangan kita? Mereka tidak lagi menggunakan dolar?"
Seorang pejabat Departemen Keuangan AS, William Carter, mengangguk dengan wajah suram.
"Bukan cuma berhasil, Tuan Presiden. Mereka sudah menarik beberapa negara lain untuk ikut dalam sistem mereka. Beberapa negara di Afrika dan Timur Tengah sudah mulai mempertimbangkan menggunakan GRp dan emas sebagai alat transaksi utama."
Seorang jenderal dari Pentagon, Charles Wilkinson, mengetuk jarinya di meja dengan keras.
"Ini sudah bukan sekadar masalah ekonomi. Ini ancaman geopolitik. Jika Indonesia berhasil, sistem keuangan global kita bisa runtuh dalam waktu satu dekade."
Presiden Mitchell mendengus.
"Apa opsi kita?"
William Carter membuka peta digital yang menampilkan jalur perdagangan Indonesia.
"Indonesia masih sangat bergantung pada jalur perdagangan laut, terutama di Selat Malaka dan Laut China Selatan. Jika kita bisa membuat ketegangan di sana…"
Jenderal Wilkinson menyeringai.
"Saya mengerti maksud Anda. Provokasi militer."
Mitchell mengetuk meja dengan jemarinya, berpikir keras.
"Saya tidak mau perang terbuka. Tapi buat mereka sibuk. Kita harus membuat mereka berpikir dua kali sebelum melanjutkan agenda ini."
Laut China Selatan – Kapal Perang dan Provokasi
Sementara itu, di perairan Laut Natuna, Kapal Perang USS Guardian milik Amerika Serikat melakukan patroli agresif. Di layar radar kapal perang Indonesia, KRI Brawijaya, muncul peringatan bahwa kapal asing telah memasuki zona ekonomi eksklusif Indonesia.
"Mereka sedang menguji kita," gumam Kapten Wisnu, komandan KRI Brawijaya.
***
KRI Brawijaya terus memantau pergerakan USS Guardian yang kini semakin mendekat ke batas ZEE Indonesia. Suasana di anjungan tegang, para perwira dan awak kapal bersiaga penuh.
"Mereka masih dalam zona kita, Kapten," laporan seorang perwira navigasi.
Kapten Wisnu menatap layar radar dengan ekspresi dingin.
"Kita beri peringatan terakhir."
Ia mengangkat radio komunikasi dan berbicara dengan suara tegas.
"USS Guardian, Anda telah memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Segera keluar atau kami akan mengambil tindakan tegas sesuai hukum internasional."
Beberapa detik berlalu tanpa respons. Lalu, suara dari pihak AS terdengar melalui radio.
"KRI Brawijaya, ini USS Guardian. Kami sedang menjalankan kebebasan navigasi di perairan internasional. Tidak ada pelanggaran yang terjadi."
Kapten Wisnu mengepalkan tangannya.
"Mereka sengaja mengulur waktu," gumamnya.
Tiba-tiba, radar mendeteksi dua kapal perusak tambahan yang bergerak dari arah timur. Seketika suasana di anjungan menjadi lebih tegang.
"Pak, kita dikepung! Dua kapal perusak AS mendekat dari belakang!" teriak perwira taktis.
Kapten Wisnu tetap tenang.
"Panggil markas. Minta dukungan udara dari TNI-AU. Kita akan bermain lebih pintar kali ini."
Markas Besar TNI – Respon Cepat
Di Markas Besar TNI di Jakarta, Jenderal Bagus Prasetyo, Panglima TNI, menerima laporan langsung dari KRI Brawijaya. Ia menatap layar monitor yang menampilkan peta perairan.
"Mereka mencoba memancing kita ke konflik terbuka," kata Jenderal Bagus dengan nada geram.
Menteri Pertahanan, Laksamana (Purn) Rachman, yang turut hadir dalam rapat darurat, mengangguk.
"Tidak boleh ada tembakan pertama dari kita. Tapi kita juga tidak boleh membiarkan mereka berbuat semaunya."
Jenderal Bagus memberi perintah cepat.
"Kirim dua jet tempur F-16 dari Natuna untuk melakukan intercept. Jangan menyerang, cukup lakukan manuver agresif agar mereka tahu kita serius."
Dua menit kemudian, dua F-16 Fighting Falcon milik TNI AU lepas landas dari Lanud Raden Sadjad, Natuna dan menuju lokasi insiden.
Situasi Memanas di Laut Natuna
USS Guardian dan dua kapal perusak AS kini semakin memperlihatkan dominasi mereka di perairan Natuna. Namun, hanya dalam beberapa menit, dua F-16 TNI AU muncul dari arah barat, terbang rendah dan dengan kecepatan tinggi.
"F-16 kita sudah tiba!" seru salah satu awak KRI Brawijaya.
Jet tempur Indonesia melakukan manuver agresif, terbang rendah di atas kapal perang AS, menciptakan tekanan psikologis yang kuat.
"USS Guardian, ini adalah peringatan terakhir. Segera keluar dari wilayah kami atau kami akan meningkatkan eskalasi lebih lanjut."
Kali ini, radio USS Guardian akhirnya memberikan respons berbeda.
"Kami akan menarik mundur kapal kami. Namun, kami akan kembali."
Kapten Wisnu tersenyum tipis.
"Kalian boleh kembali, tapi setiap kali datang, kami akan selalu lebih siap."
USS Guardian dan dua kapal perusak lainnya mulai berbelok, menjauh dari ZEE Indonesia. Para awak kapal KRI Brawijaya bersorak kecil, meskipun mereka tahu ini belum berakhir.
Kapten Wisnu kembali menatap cakrawala.
"Ini baru awal. Kita harus bersiap untuk lebih banyak tekanan ke depan."
Washington D.C. – Gedung Putih, Dampak Insiden Natuna
Di Washington, laporan insiden Natuna tiba di meja Presiden Mitchell. Ekspresinya berubah semakin serius.
"Mereka tidak takut. Indonesia bahkan sudah berani menunjukkan taringnya," kata William Carter dari Departemen Keuangan.
Jenderal Wilkinson menyela dengan nada tajam.
"Kalau begini, kita butuh strategi lain. Mereka mungkin menang di laut, tapi bagaimana kalau kita menekan mereka dari sisi ekonomi?"
Presiden Mitchell mengangguk.
"Kita buat mereka sibuk dengan embargo dagang. Putuskan akses mereka ke beberapa pasar utama."
Lalu, rapat Gedung Putih berubah menjadi diskusi intensif untuk mengisolasi Indonesia secara ekonomi.
Namun, tanpa mereka sadari, negara-negara di OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) telah mengadakan pertemuan rahasia, merencanakan langkah untuk membantu Indonesia bertahan dari tekanan internasional.
Oleh Erwinsyah Putra.
Episode bersambung ke Episode 33