Cerita Sambung Episode 21: Diskusi Panas Anak Ekonomi
Ruang diskusi Fakultas Ekonomi sore itu dipenuhi oleh mahasiswa dari berbagai angkatan. Di tengah ruangan, seorang pria berusia sekitar 50-an dengan rambut sedikit memutih, berkacamata, dan memakai batik cokelat berdiri dengan tangan bersedekap. Ia adalah Pak Soritua, dosen ekonomi yang dikenal dengan pemikirannya yang tajam. Di salah satu sisi meja, Reza dan Rafi duduk berdampingan bersama anggota Kelompok Studi Ekonomi. Wajah mereka serius, siap memulai diskusi yang sudah lama mereka nantikan.
***
Pak Soritua membuka diskusi dengan suara tenang namun tegas. "Baik, hari ini kita akan membahas implementasi GRp dalam sistem ekonomi kita, terutama dalam pembayaran uang kuliah, transaksi pajak, serta zakat emas. Ini isu besar karena mengubah paradigma sistem moneter kita. Saya ingin mendengar argumen dari kedua sisi. Siapa yang ingin mulai?" Rafi mengangkat tangan. "Pak, saya ingin menggarisbawahi bagaimana GRp mulai diterapkan dalam pembayaran uang kuliah. Ini jadi bukti konkret bahwa GRp bukan hanya konsep, tapi benar-benar mulai menggantikan sistem fiat yang dulu kita pakai." Pak Soritua mengangguk.
"Ya, benar. Sejak semester ini, beberapa universitas mulai menerima GRp untuk pembayaran SPP. Artinya, mahasiswa bisa membayar dengan emas digital yang setara dengan gramasi tertentu. Pertanyaannya, bagaimana dampaknya?" Reza, dengan sikap skeptisnya, menyandarkan punggung ke kursi. "Pak, sistem ini memang menarik, tapi apakah tidak membebani mahasiswa? Harga emas kan naik turun. Kalau tahun lalu kita bayar satu gram GRp untuk SPP, bisa jadi tahun depan butuh lebih dari satu gram karena harga emas turun."
Pak Soritua tersenyum tipis. "Sebaliknya, justru dengan emas, daya beli lebih stabil dibanding fiat. Dulu dengan uang fiat, kenaikan SPP setiap tahun terjadi karena inflasi. Sekarang, mahasiswa bisa menabung dalam GRp tanpa takut nilainya tergerus. Ini yang disebut purchasing power stability. Tapi, kita juga harus bicara tentang pajak."
***
Mahasiswa lain, Dika, angkat bicara. "Pak, berarti pajak juga dihitung dalam gram emas? Lalu bagaimana dengan konversinya ke rupiah?" Pak Soritua mengambil spidol dan menulis di papan: "Pajak dalam GRp = Nilai emas dalam GRp × Tarif pajak yang berlaku." Ia lalu menjelaskan, "Pajak tetap dihitung berdasarkan tarif yang ada, hanya saja pembayarannya bisa dilakukan dalam GRp. Pemerintah bisa langsung menyimpan cadangan emasnya atau mengonversinya ke rupiah jika diperlukan. Justru ini membuat penerimaan pajak lebih kuat karena berbasis aset nyata." Reza mengangguk kecil, mulai memahami konsepnya. "Jadi, ini semacam gold-backed tax system?" "Betul sekali," jawab Pak Soritua. "Dulu pajak diterima dalam bentuk uang fiat yang nilainya terus berkurang karena inflasi.
Sekarang, setiap gram GRp yang diterima pemerintah adalah aset nyata yang bisa dikontrol nilainya." Dika masih ragu. "Tapi, Pak, bagaimana dengan biaya kepemilikan emas? Kan ada biaya penyimpanan?" Pak Soritua tersenyum. "Inilah yang menarik. Dengan sistem digital GRp, tidak semua emas harus disimpan dalam bentuk fisik oleh individu. Emas dikelola oleh lembaga yang terverifikasi, sehingga biaya penyimpanan bisa lebih murah dibanding jika masing-masing orang menyimpan emas sendiri. Namun, bagi yang ingin menyimpan sendiri, tentu ada konsekuensinya."
***
Diskusi mulai mengarah ke aspek keagamaan. Seorang mahasiswa perempuan, Fauziah, mengangkat tangan. "Pak, bagaimana dengan zakat emas? Apakah dengan sistem GRp ini, zakat dihitung secara otomatis?" Pak Soritua mengambil posisi lebih serius. "Pertanyaan bagus. Dalam Islam, zakat emas dihitung berdasarkan nasab zakat, yaitu jika seseorang memiliki emas sebanyak 85 gram dan sudah mencapai haul (satu tahun kepemilikan), maka wajib dikeluarkan zakat sebesar 2,5%." Fauziah menimpali. "Berarti, jika seseorang memiliki 100 gram GRp selama setahun, dia wajib membayar 2,5 gram emas?"
"Betul," jawab Pak Soritua. "Dan di sinilah keunggulan sistem GRp. Sekarang pembayaran zakat bisa dilakukan dengan sangat transparan, tanpa harus mengkonversi ke uang fiat. Bahkan ada fitur otomatisasi yang bisa langsung menghitung dan mengirimkan zakat ke lembaga yang berwenang." Reza terlihat berpikir.
"Tapi, Pak, kalau semua orang mulai beralih ke GRp, apakah tidak akan terjadi defisit likuiditas? Artinya, apakah kita tidak akan kehabisan emas jika terlalu banyak digunakan dalam transaksi?" Pak Soritua tersenyum lebar. "Nah, itu pertanyaan yang sering diajukan. Ingat, ekonomi emas tidak berjalan seperti uang fiat. Nilai emas cenderung stabil karena jumlahnya terbatas.
Tapi inilah kelebihannya: karena nilainya tidak bisa dimanipulasi secara sembarangan, orang akan lebih bijak dalam menggunakannya. Selain itu, sistem fractional gold reserve memungkinkan adanya likuiditas tanpa harus semua emas berpindah secara fisik." Reza terdiam, sementara Rafi tersenyum puas. "Jadi, ini lebih dari sekadar perubahan sistem pembayaran. Ini perubahan pola pikir, ya?" Pak Soritua mengangguk. "Tepat. Kita sedang berada di era transisi ekonomi yang sangat besar. GRp bukan hanya alat transaksi, tapi juga bentuk keadilan ekonomi. Transparansi, kestabilan daya beli, dan kemudahan dalam kewajiban zakat adalah beberapa manfaatnya."
***
Diskusi berakhir dengan keheningan sesaat. Setiap peserta mulai memahami besarnya dampak perubahan ini. Reza akhirnya berkata, "Saya masih punya beberapa pertanyaan, Pak, tapi saya mulai melihat bahwa sistem ini punya keunggulan yang tidak bisa diabaikan. Mungkin saya perlu riset lebih lanjut." Rafi menepuk bahunya sambil tertawa. "Akhirnya mulai masuk akal, kan?" Pak Soritua tersenyum. "Tidak ada sistem yang sempurna, tapi tugas kita adalah memahami dan menggunakannya dengan bijak. Dan yang pasti, kita sedang menulis sejarah baru."
Di luar ruang diskusi, langit mulai berwarna jingga. Angin sore berhembus perlahan, seakan membawa perubahan yang mulai dirasakan oleh semua orang.
Oleh Erwinsyah Putra
Bersambung ke Episode 22