Notification

×

Iklan

EID MUBARAK

KIRIM TULISAN 1S PINK

Iklan 728x90

FILLO MAGZ

BISNIS YOK

Gak Bayar Gak Jadi

Minggu, 02 Maret 2025 | Maret 02, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-15T18:39:20Z


Cerita Sari Nyata
Gak Bayar Gak Jadi
oleh Erwinsyah Putra

Di pantry studio kecil yang mereka sebut sebagai "rumah kedua", empat anggota band Maturutup duduk mengelilingi meja kayu yang penuh dengan bungkus makanan ringan dan gelas kopi. Aroma rokok bercampur dengan bau khas peralatan musik yang sedikit berdebu. 

Latihan sore mereka baru saja selesai, tetapi suasana hati mereka masih dipenuhi dengan amarah dan kejengkelan. 
"Gila sih, hari ini bener-bener nyebelin!" gerutu Sari, sang bassist, meletakkan cangkir kopinya dengan kasar. 
"Bayangin, gue cuma mau urus perpanjangan SIM, semua berkas lengkap, tes lolos, tapi tetap aja, kalau gak bayar pelicin, gak bakal diproses!" Anton, sang gitaris, tertawa sinis. 
"Hah, sama, Sar! Tadi gue ke kantor polisi buat lapor motor gue yang dimaling. Bukannya dapet bantuan, gue malah dimintain duit biar laporan gue diproses. Kalau gak bayar? Ya, gak ada laporan masuk."
Rizal, drummer mereka yang masih berusia 22 tahun, menggeleng. 
"Dunia ini emang edan. Gue aja pagi tadi ke kelurahan, cuma mau bikin surat kehilangan buat KTP gue. Mereka cuma lempar-lempar gue ke sana-sini. Eh, pas gue tunjukin duit, tiba-tiba bisa selesai dalam lima menit!" 
Dina, sang vokalis, yang sejak tadi sibuk memutar sendok di gelasnya, akhirnya angkat bicara. "Gue lebih parah lagi, kali. Pernah ditilang cuma gara-gara pakai piyama! Padahal surat-surat lengkap, helm juga dipakai. Pas gue protes, ujung-ujungnya mereka bilang, 'kalau gak mau ribet, bayar aja, selesai.'" 
Mereka saling berpandangan. Ada kesunyian yang aneh di antara mereka, bukan karena tak punya kata-kata, tetapi karena merasa muak dengan keadaan ini. "Kita harus ngelakuin sesuatu," kata Anton akhirnya, mengencangkan strap gitarnya. 
"Kita bikin lagu." Rizal mengangguk semangat. "Lagu tentang gimana sistem ini tuh rusak. Gimana kalau lo gak bayar, ya lo gak dapet hak lo." "Judulnya… 'Gak Bayar, Gak Jadi'?" usul Sari. Dina tersenyum lebar. "Pas! Let's make some noise." 

Malam itu, mereka menciptakan lagu dengan lirik yang mengalir seperti luapan emosi mereka sendiri. Dentuman drum Rizal menggambarkan ketegangan, gitar Anton mengaum seperti suara perlawanan, dan suara Dina melantunkan amarah yang tersusun rapi dalam harmoni. Beberapa hari kemudian, mereka merekam lagu tersebut di studio, mengunggahnya di akun YouTube Maturutup, tanpa ekspektasi besar. 

*** 
Lapangan desa dipenuhi orang-orang dari berbagai usia. Acara perayaan HUT desa tahun ini terasa lebih semarak dari biasanya. Banyak yang datang bukan hanya untuk menikmati acara, tapi juga untuk menyaksikan Maturutup membawakan lagu mereka yang mulai ramai dibicarakan. Ketika intro Gak Bayar, Gak Jadi mulai dimainkan, suara sorakan dan tepuk tangan membahana.
"Mereka tahu lagu ini," bisik Sari pada Dina di sela-sela musik. "Tentu aja, ini suara mereka juga," jawab Dina sebelum menarik napas panjang dan mulai menyanyikan liriknya: Suasana pecah. Banyak orang yang merekam dan menyiarkan langsung pertunjukan ini ke media sosial. Dalam hitungan jam, video dari acara ini viral. Komentar bermunculan, banyak yang merasa relate dengan isi lagu. Dan keesokan harinya, efeknya lebih besar dari yang mereka kira.

***
Lagu Gak Bayar, Gak Jadi tidak hanya ramai diperbincangkan di media sosial, tetapi juga mulai dijadikan sound untuk berbagai konten protes di TikTok dan Instagram. Para influencer dan aktivis mulai membuat video reaction, membahas keberanian Maturutup dalam mengkritik sistem yang busuk. Namun, tidak semua pihak senang.
***
Tiga hari setelah lagu mereka viral, studio mereka didatangi beberapa pria berseragam. Mereka tidak bicara banyak, hanya memberikan satu pesan: "Kalian harus hapus lagu itu. Dan minta maaf di depan publik." Anton tertawa kecil. "Kenapa? Lagunya bikin kalian kepanasan?" Seorang polisi menatap tajam. "Kita lihat aja nanti. Kalau kalian bandel, kita bisa cari kesalahan kalian." Mereka tetap menolak meminta maaf. Namun, ancaman itu bukan sekadar gertakan. Keesokan harinya, masing-masing dari mereka mendapat surat pemecatan dari pekerjaan utama mereka. Anton yang bekerja di bengkel, Dina yang menjadi guru les musik, Sari yang seorang desainer grafis, dan Rizal yang magang di salah satu perusahaan media—semuanya kehilangan pekerjaan secara mendadak. Mereka sadar, mereka sedang dijadikan contoh.

***
Dalam konferensi pers kecil yang dipenuhi awak media, keempat personel Maturutup akhirnya muncul. Dina, dengan wajah datar, berbicara di depan mikrofon.
"Kami meminta maaf jika lagu kami menyinggung pihak tertentu. Kami tidak berniat menimbulkan keresahan." 
Anton mengepalkan tangannya di belakang punggungnya, menahan amarah. Rizal menatap kosong ke depan, sementara Sari hanya menunduk. Mereka tahu bahwa ini bukan tentang benar atau salah. Ini tentang siapa yang lebih berkuasa.

***
Namun, meskipun mereka telah meminta maaf, perlawanan tidak berhenti. Di berbagai tempat, band-band kecil mulai menciptakan lagu-lagu dengan tema serupa. Tagar #BebaskanMaturutup mulai trending di media sosial. 
Bahkan, beberapa musisi dari luar negeri mulai angkat suara, menyebut Maturutup sebagai simbol kebebasan berekspresi. Di kamar kecilnya, Anton menatap gitarnya yang tergeletak di sudut. Ia tersenyum tipis, lalu meraih pulpen dan kertas. 
Karena meskipun mereka telah dipaksa diam, lagu mereka tetap hidup. 
Dan musik… tidak akan pernah bisa dibungkam. (dari Kisah Sukatani) "Kalau lo mau cepat, lo harus bayar! Kalau lo mau aman, lo harus bayar! Hak lo? Duit lo! Kalau enggak? Ya lo mampus!"

×
Duta Huskus

BELI PARFUM INI, KAMI KEMBALIKAN Rp.108.000/ HARI

SYARATNYA KLIK INI