Cerita Pendek: Kala Kamboja Terhempas Angin
Langit Jakarta masih kelabu saat Nagil membuka mata. Matahari bahkan belum sempat mengintip dari balik gedung-gedung tinggi yang memadati kotanya. Namun, satu hal yang pasti—pikirannya selalu mengarah pada satu nama: Rina. Senyum Rina selalu hadir lebih dulu sebelum ia mengucapkan doa pagi. Kadang, Nagil tertawa sendiri mengingat betapa bodohnya ia telah menjadi budak dari perasaannya. Tapi entah mengapa, itu tak menghentikannya.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Rina. Rina: "Sayang, udah bangun belum?
Aku kangen." Nagil: "Udah, Sayang. Aku juga kangen banget. Kamu udah
sarapan?"
Ia melupakan kebiasaan paginya untuk bersujud. Mengganti zikir dengan
balasan pesan. Mengalihkan doa dengan kata-kata manis yang ia ketik sambil
tersenyum.
Setelah bersiap-siap, Nagil langsung berangkat kerja. Pekerjaan sebagai
marketing di perusahaan swasta yang cukup besar mengharuskannya berpikir
kreatif setiap hari.
Namun, sejak Rina hadir dalam hidupnya, kreatifitasnya mulai terkikis oleh kecanduannya pada cinta. Di ruang kerja yang dingin oleh pendingin ruangan, ia lebih sering menggenggam ponsel daripada pena. Membalas pesan Rina menjadi prioritas yang tak tertulis dalam daftar pekerjaannya. Di tengah tumpukan dokumen yang harus diselesaikan, Nagil kembali menyisihkan waktu untuk menghubungi Rina. “Sayang, kamu udah makan siang belum?” tanyanya sambil menelepon dengan suara pelan. “Belum, nih. Aku males kalau makan sendiri. Kamu mau temenin nggak?”
Rina manja di ujung sana. “Aduh, aku masih di kantor, Sayang. Nggak bisa ke mana-mana.” “Huh, ya udah deh. Nggak apa-apa. Kamu sibuk terus. Aku ini nggak
penting ya buat kamu?” nada kesalnya membuat Nagil tergagap.
“Nggak, Sayang. Bukan gitu maksudku. Kamu penting banget. Cuma...
kerjaan aku lagi numpuk.” “Ya udah. Kalau kamu memang nggak bisa, nggak apa-apa. Mungkin aku cari
teman lain buat nemenin.”
Nada itu. Nada yang membuat dada Nagil mendidih. Rina tahu betul cara
membuat Nagil merasa bersalah. “Enggak! Nanti jam istirahat aku ke tempat kamu. Mau makan di mana?” Rina terkikik, senang mendengar Nagil takluk di tangannya. “Ya udah, aku tunggu ya. Jangan
telat!”
Jam istirahat, Nagil mengabaikan rapat yang seharusnya ia hadiri.
Fokusnya hanya satu: membahagiakan Rina. Ia tahu betul bagaimana perasaannya
pada gadis itu. Dalam hati kecilnya, Nagil sadar. Ada yang salah. Tapi cintanya
terlalu besar, terlalu menguasai. Bahkan, lebih besar dari keyakinannya pada
Tuhan.
***
Sejak pertemuannya dengan Rina,
hidup Nagil berubah. Bukan berubah menjadi lebih baik, tapi seolah terseret
arus yang tak bisa ia kendalikan. Ia mulai mengabaikan pekerjaan, menunda
tugas-tugas yang biasanya ia selesaikan dengan cepat dan teliti. Di ruang
kantor yang semakin terasa asing, Nagil duduk termenung di depan layar
komputernya. Angka-angka penjualan yang seharusnya ia analisis hanya menjadi
deretan huruf dan simbol tanpa makna.
“Gil, lo serius nggak sih sama
kerjaan ini?” tegur Wira, rekannya di divisi marketing. “Udah dua kali lo nggak
ikut rapat bulanan. Project yang lo pegang juga terbengkalai. Jangan bikin
repot tim, dong.” Nagil menunduk, mengusap wajahnya yang terlihat lebih kusut dari biasanya.
“Iya, Maaf. Gue lagi nggak fokus aja.” “Nggak fokus apanya? Lo kayak nggak peduli sama kerjaan. Gue ngerti lo lagi
jatuh cinta sama si Rina itu. Tapi masa sampai kerjaan lo hancur gini?”
Wira menatapnya dengan tatapan prihatin. Nagil tak menjawab. Ia hanya meraih
ponselnya yang bergetar di atas meja. Pesan dari Rina.
Rina: “Sayang, aku lagi di mall. Lihat-lihat sepatu nih. Kamu nggak mau nemenin
aku, ya?” Nagil menghela napas. Rina seperti tak pernah mengerti bahwa hidup Nagil tak hanya tentangnya. Namun,
sekali lagi ia mengalah. Pikirannya selalu berbisik, Kalau nggak gue yang ada
buat dia, siapa lagi? Ia mengetik dengan cepat. Nagil: “Iya, Sayang. Aku jemput sekarang.”
“Lo mau ke mana lagi?” Wira mengernyitkan dahi melihat Nagil buru-buru
mengemasi barang-barangnya. “Ada urusan mendesak. Lo tolong cover kerjaan gue dulu, ya.” Wira mendengus kesal. “Gue nggak tau kenapa lo kayak gini, Gil. Tapi kalau
terus-terusan begini, lo bakal hancur sendiri.”
Namun, nasihat itu seakan
melayang tertiup angin. Hanya satu yang menguasai pikiran Nagil: Rina. Tak lama
kemudian, mereka sudah duduk di sebuah kafe mahal yang dipilih Rina.
Tertawa-tawa, bercanda tentang hal-hal tak penting. Nagil menatap gadis di
depannya dengan mata yang nyaris menyembah. Baginya, tak ada yang lebih indah
daripada melihat Rina tersenyum. Namun, di balik tawa itu, ia tak menyadari
bahwa dunianya sedang runtuh perlahan.
Seperti pagi ini, ketika
atasannya memanggilnya ke ruang meeting.
“Nagil, coba jelaskan. Kenapa progres project kamu terus tertunda?” suara Pak
Denny terdengar dingin. “Maaf, Pak. Saya sedang ada masalah pribadi.”
“Masalah pribadi bukan alasan. Perusahaan ini menggaji kamu untuk bekerja.
Bukan untuk mengurus urusan pribadi di jam kerja.” Nagil terdiam. Mulutnya kelu. “Kami sudah beri kamu kesempatan. Tapi kalau kamu tetap seperti ini, saya
terpaksa mengambil tindakan. Pertimbangkan baik-baik, Nagil.” Suara pintu yang menutup meninggalkan getar kecemasan di dada Nagil. Namun,
ketika ia melihat pesan Rina yang masuk, seluruh perasaan takutnya menghilang. Rina: “Sayang, kamu masih sayang aku, kan? Aku butuh kamu.” Ia tak bisa menolaknya. Lagi-lagi, hatinya mengalah. Sekali lagi, Nagil
menomorsatukan Rina. Lebih dari apa pun. Lebih dari pekerjaannya. Lebih dari
hidupnya. Bahkan, lebih dari Tuhannya. Nagil tak menyadari bahwa obsesinya pada
cinta yang ia kira tulus telah menggerogoti seluruh hidupnya. Hingga suatu
hari, kenyataan menghempaskan dirinya ke titik terendah yang tak pernah ia
bayangkan.
***
Dunia Nagil runtuh dalam sekejap.
Hari itu, saat ia datang ke kantor dengan langkah gontai, keputusan pahit sudah
menunggunya. “Maaf, Nagil. Tapi kamu sudah terlalu jauh. Deadline terlewatkan, klien kecewa,
dan perusahaan tak bisa lagi menoleransi kelalaianmu. Kamu resmi
diberhentikan.” Kata-kata Pak Denny menghantamnya seperti petir. “Pak... Tolong kasih saya kesempatan sekali lagi. Saya janji akan memperbaiki
semuanya.” Nagil memohon dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca. “Sudah terlambat, Nagil. Kesempatanmu sudah habis.”
Nagil terdiam, tangannya mengepal di samping tubuhnya. Suara Pak Denny kini
terasa seperti gema yang menjauh. Ia tahu, dirinya yang telah merusak semuanya.
Dan itu semua karena dirinya terlalu buta oleh cinta. Ia pulang dengan tubuh limbung. Kantongnya
semakin menipis, tabungannya terkuras untuk memenuhi permintaan Rina yang terus
menggunung.
Malam itu, Nagil duduk di depan
kamar kosnya yang sempit. Tangannya menggenggam ponsel yang seakan menjadi
satu-satunya penghubung antara dirinya dan Rina. Tanpa menunggu lama, ia
menghubungi Rina. Beberapa kali nada sambung terdengar, lalu suara manis yang
ia rindukan menyapa.
“Halo? Sayang?”
“Rina... Aku... Aku baru saja dipecat dari kantor.” Suaranya berat.
“Oh... Gitu, ya? Tapi kamu kan masih punya tabungan, kan?” Jawaban Rina
terdengar datar, jauh dari simpati yang ia harapkan.
“Tabunganku sudah habis, Rina. Aku nggak tahu mau gimana lagi.”
“Terus... Gimana aku? Kamu masih bisa bantu aku, kan?” Suara Rina sedikit
meninggi.
“Aku akan cari pekerjaan lain. Tapi untuk sekarang, mungkin kita perlu lebih sederhana dulu...” “Sederhana?” Rina tertawa sinis. “Kamu serius? Kamu pikir aku mau hidup sengsara, Gil? Udah cukup aku ngikutin kamu selama ini. Kalau kamu nggak bisa kasih apa yang aku butuh, aku juga nggak perlu buang-buang waktu buat kamu.”
“Tunggu... Apa maksudmu, Rina?”
“Sudah jelas, kan? Aku nggak bisa hidup
dengan kamu yang sekarang. Maaf, Nagil. Aku nggak mau buang waktu lagi.”
Tanpa menunggu jawaban, Rina menutup telepon.
Dunia Nagil kembali hancur. Hatinya yang dulu disandarkan pada cinta kini remuk
tak berbentuk. Selama ini ia terlalu
mengagungkan Rina. Membuatnya lupa siapa dirinya. Lupa bahwa dunianya tidak
seharusnya bergantung pada satu orang. Malam bergulir, menjadi saksi atas
kepedihan yang merambat dalam keheningan.
Nagil terduduk di lantai, ponselnya
tergeletak tak bernyawa.
“Ya Tuhan... Apa yang sudah kulakukan?” bisiknya lirih, diiringi air mata yang
jatuh tanpa bisa ia tahan.
Pikirannya kacau, raganya lemah. Ia merasa telah kehilangan segalanya.
Pekerjaan, harga diri, dan cinta yang dulu ia jadikan segalanya. Dan kini, ia
terdampar di jurang keputusasaan yang ia gali sendiri.
(oleh Erwinsyah Putra)