Cerita Pendek: Sungai Air mata
Matahari bersinar terik sejak pagi. Daun-daun kering berserakan di jalanan,
sesekali tersapu angin gersang. Sungai kecil di pinggir desa menyusut nyaris
jadi selokan panjang berbau busuk karena tumpukan sampah plastik, sisa makanan,
dan botol-botol bekas yang mengapung malas di permukaannya.
Di bawah pohon asam tua di depan warung kopi Pak Joko, lima orang duduk mengelilingi meja kayu sambil menyeruput kopi hitam pekat. “Ah, makin hari panasnya makin jadi aja!” keluh Rahmad sambil melepaskan topi rotan dari kepalanya. Rambutnya yang tipis basah oleh keringat. “Untung aja di sini ada angin.”
Parman mengeluarkan bungkus rokok dari sakunya. “Namanya juga musim kemarau. Biasa lah. Emangnya lu mau hujan tiap hari, Mad? Banjir dong.” “Banjir-banjir dikit mah nggak apa-apa. Yang penting adem.” Rahmad menyeringai, menendang kaleng kosong ke pinggir jalan. “Lagian kita nggak pernah kebanjiran di sini.” “Hei, Sari! Udah belanja ke pasar?” tanya Joni sambil mengunyah gorengan yang sudah dingin.
Sari yang baru datang sambil membawa dua kantong plastik besar menghempaskan dirinya di kursi. “Baru balik. Aduh, berat banget ini. Jalanan kering semua, debunya bikin sesak nafas.” Larmi menyambar sepotong gorengan. “Makanya buang sampah yang bener, kali. Lihat tuh, sungai di belakang rumah kalian. Udah kayak tempat pembuangan akhir!” “Ya kalau nggak gitu, buang ke mana lagi, Mi?” sahut Parman cuek. “Buang ke sungai kan gampang, tinggal lempar, selesai urusan.”
Sari mengangguk setuju. “Lagian ya, kalau sungai penuh sampah, paling banter juga cuma mampet sebentar. Nggak bakal sampai bikin banjir. Tuh si Joni buktinya, dia aja buang sampah kulkasnya yang rusak ke sungai. Nggak ada efek apa-apa.” Joni terkekeh. “Iya dong. Lagian, bukan salah kita juga kalau airnya nggak jalan. Bukan tugas kita buat ngurusin sungai.” “Tapi kalau ada razia dari RT, jangan ada yang lapor-lapor, ya,” Parman menambahkan sambil tertawa kecil. “Nggak ada yang peduli juga, kan?”
Mereka pun tertawa lepas, menganggap semuanya sebagai lelucon belaka. Kebiasaan membuang sampah sembarangan seolah menjadi hal biasa. Angin sore berhembus membawa aroma anyir dari arah sungai yang mengalir lambat dan penuh limbah. Mereka tak tahu bahwa hari-hari yang akan datang akan mengajarkan mereka sebuah pelajaran pahit.
***
Hujan mulai turun sejak pagi. Langit kelabu, pekat menggantung di atas Desa Cibening. Awalnya hanya rintik kecil yang jatuh dengan malas. Namun, menjelang siang, langit seolah terbelah, menumpahkan hujan lebat tanpa jeda. “Gila! Hujan nggak berhenti-berhenti,” keluh Rahmad sambil menyandarkan tubuhnya di ambang pintu. Matanya menatap ke arah jalanan yang mulai tergenang air. “Ya udah, biarin aja. Namanya juga hujan.” Parman masih bersikap masa bodoh, menyalakan rokoknya dengan tangan yang sedikit gemetar. Namun, ada kekhawatiran di sudut matanya.
Dari dapur, Sari mengomel. “Ini air di dapur udah mulai masuk, Joni! Kok nggak kamu tutup lubang pembuangan itu?” “Mana aku tahu bakal ujan deres gini, Sar. Lubang pembuangan juga udah mampet. Banyak sampah nyangkut,” sahut Joni cemas sambil mengais-ngais pintu dapur yang airnya terus mengalir masuk. Di luar rumah mereka, suara gemuruh air semakin menggelegar. Kali kecil di belakang desa sudah meluap, merayap ke jalanan. Sampah-sampah yang selama ini mereka buang sembarangan hanyut terbawa arus, membentuk semacam bendungan yang menahan aliran air, memaksa air meluap ke pemukiman.
“Larmi! Cepat angkat barang-barangmu ke tempat yang lebih tinggi! Airnya udah setinggi lutut di depan rumah!” teriak Parman dari balik pintu yang dibukanya sedikit. “Apa?!” Larmi langsung bergegas mengangkat kursi dan barang-barang di ruang tamunya. Namun, baru beberapa langkah, air sudah menyusup masuk dari celah pintu yang tak cukup rapat. “Astaga! Kenapa airnya kotor begini?” “Ya karena sampah dari kali pada kebawa! Banjir ini gara-gara sampah mampet!” teriak Rahmad, kini mulai panik.
Suara teriakan warga menggema di tengah derasnya hujan. Ada yang sibuk menyelamatkan barang, ada yang menyeret anak-anak mereka keluar rumah. Semua orang berlomba dengan waktu, tapi air bergerak lebih cepat dari mereka. “Mad! Rumahku... rumahku ambruk!” teriak Joni histeris saat melihat bagian dapurnya runtuh diterjang arus air yang semakin kuat. “Lari! Lari ke tempat yang lebih tinggi!” seru Parman yang kini tak lagi mLarmikirkan apapun selain menyelamatkan diri. Mereka berlarian dalam gelap, di bawah hujan yang menghantam tanpa belas kasihan. Kilatan petir sesekali menerangi wajah-wajah pucat mereka yang penuh dengan kepanikan. Jalanan berubah menjadi sungai deras yang menghanyutkan apa saja yang menghalangi.
Dari kejauhan, terdengar jeritan Larmi. “Tolong! Tolong! Anak-anakku! Mereka masih di dalam!” Tanpa berpikir panjang, Rahmad dan Parman mencoba kembali, namun arus terlalu deras. Mata mereka memandang tak percaya saat rumah Larmi yang kecil dan rapuh hanyut terbawa air. Hujan baru reda setelah fajar menyingsing. Tapi banjir sudah merenggut lebih dari sekadar barang-barang mereka.
***
Matahari terbit dengan sinar suram keemasan, menyorotkan cahayanya pada desa yang hancur lebur. Air memang sudah mulai surut, tetapi lumpur tebal menutupi segala penjuru, menyisakan aroma busuk dari sampah yang terperangkap dan bangkai binatang yang tak sempat menyelamatkan diri. Joni terduduk lemas di depan reruntuhan rumahnya. Dapur yang kemarin coba diselamatkannya kini rata dengan tanah. Hanya sisa kayu patah dan genting yang teronggok acak-acakan. “Ini... ini salah kita,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. “Apa maksudmu?” Parman duduk di sampingnya, wajahnya sembab dan matanya bengkak karena kurang tidur. “Kita semua. Aku, kamu, Rahmad, Larmi, Sari... Kita nggak pernah peduli sama lingkungan. Buang sampah sembarangan. Anggap selokan cuma tempat numpuk barang bekas yang nggak kepake. Sekarang lihat sendiri akibatnya.” Suara Joni bergetar.
Sari berjalan tertatih-tatih mendekati mereka. Pakaiannya lusuh dan kotor, matanya kosong menatap puing-puing. “Anak-anak Larmi... mereka nggak selamat, kan?” tanyanya dengan suara serak. Parman hanya mengangguk pelan, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Larmi kini duduk sendirian, menangis tanpa suara di depan rumah yang hanyut bersama arus deras semalam. “Kita terlalu egois,” kata Rahmad yang baru saja datang sambil menyeret karung berisi beberapa barang yang berhasil ia selamatkan. “Cuma mikirin diri sendiri. Buang sampah asal-asalan. Nggak pernah mikir kalau alam punya batas.”
“Tapi... apa yang bisa kita lakukan sekarang?” Sari menatap mereka, air matanya mengalir perlahan. “Rumahku hancur. Rumah kalian juga. Bahkan Larmi... dia kehilangan segalanya. Apakah... apakah kita bisa memperbaikinya?” “Kita bisa. Kalau kita mau berubah,” jawab Joni. “Ini semua karena kebiasaan buruk kita. Kalau nggak dimulai dari diri kita sendiri, siapa lagi?” Parman mengangguk pelan. “Benar. Mulai sekarang, nggak ada lagi buang sampah sembarangan. Kita bikin kesepakatan. Kalau ada yang ketahuan buang sampah di kali, kita tegur. Kita kasih sanksi. Kita bikin desa ini sadar, biar nggak ada lagi korban kayak Larmi dan anak-anaknya.”
“Aku setuju,” kata Rahmad. “Dan nggak cuma itu. Kita harus bikin tempat pengolahan sampah sendiri. Pisahin sampah organik dan anorganik. Buat lubang biopori, supaya air nggak cuma menggenang. Bikin desa kita aman.” Mereka semua terdiam, menatap sisa-sisa desa yang kini hanya tinggal puing. Ada kepedihan dalam setiap sudut pandang mereka, tetapi juga tekad yang tak pernah sekuat ini sebelumnya. “Larmi...” Sari melangkah mendekat dan memeluknya. “Maaf... Maafkan kami... Andai kami sadar lebih awal.”
Larmi tak menjawab. Hanya anggukan kecil yang mengisyaratkan bahwa dia mendengar. Bahwa dia mengerti. Mereka kini bersatu dalam satu tujuan, mencoba menebus kesalahan mereka dengan memulai kehidupan baru yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. Mereka tahu, ini bukan proses yang mudah. Tapi bagi mereka, ini satu-satunya cara untuk menebus dosa-dosa masa lalu.
Oleh Erwinsyah Putra