Cerita Sari Nyata
(dari Kisah Raeni, Universitas Negeri Semarang)
Kayuh Terakhir Becak Ayah
oleh Erwinsyah Putra
Hujan
rintik jatuh di atap seng rumah kecil itu. Di sudut dapur, Rania menanak nasi
dengan panci tua yang menghitam di bagian bawahnya. Suara denting sendok di
piring kaleng menemani sunyi mereka malam itu.
“Besok
ujian terakhir, Yah. Kalau Rania lulus, kita tinggal tunggu pengumuman wisuda,” kata Rania sambil menyeruput teh
yang sudah hampir tawar.
Rania
tertawa kecil, menutupi kegugupannya. Mereka tahu, setelah wisuda, tantangan
baru menanti. Rania butuh pekerjaan. Dan mereka tidak punya uang lebih untuk
merayakan apa pun.
“Sudah,
makan yang banyak. Besok Ayah mau narik becak dari pagi. Siapa tahu ada
penumpang ramai di stasiun.”
“Yah…
jangan terlalu capek. Aku bisa bantu cari kerja setelah ini.”
Pak Seno
hanya tersenyum. Ia tahu, ada hal-hal yang tak bisa diungkapkan lewat
kata-kata—kegelisahannya soal cicilan becak, rasa takut jika kesehatan tubuhnya
yang mulai menua tak lagi sanggup menopang perjuangan ini.
***
Keesokan
harinya, Rania bangun lebih pagi dari biasanya. Ia harus berangkat ke kampus
lebih awal, memastikan semua urusan akademiknya selesai. Di luar, Pak Seno
sudah siap dengan becaknya.
“Ayo,
Nak. Biar Ayah yang antar kamu ke kampus.”
“Tidak
usah, Yah. Aku naik angkot saja.”
“Kapan
lagi Ayah bisa antar kamu? Lagipula, siapa yang mau protes kalau anak kampus
diantar pakai becak?”
Rania
tersenyum. Meski malu, ada sesuatu yang hangat dalam kata-kata ayahnya. Pak
Seno mengayuh becak perlahan, melewati jalanan yang masih basah oleh sisa hujan
semalam. Di setiap kayuhan, ada doa yang ia lantunkan dalam hatinya.
***
Wisuda
tiba. Aula kampus penuh sesak oleh mahasiswa yang menunggu giliran dipanggil.
Ketika nama Rania disebut, ia melangkah naik ke panggung dengan perasaan yang
campur aduk—bangga, haru, dan sedikit gugup. Di antara kerumunan, ia melihat
Pak Seno berdiri di belakang, masih mengenakan jaket lusuhnya.
Air mata
menggenang di sudut matanya. Bukan karena ia malu, tetapi karena ia tahu, pria
tua itulah alasan ia bisa berdiri di sini hari ini.
Setelah
acara selesai, Pak Seno menjemputnya di pintu depan dengan becak.
“Maaf,
Yah. Rania nggak bisa kasih apa-apa hari ini.”
“Kamu
sudah kasih Ayah alasan buat bangga, Nak. Itu lebih dari cukup.”
Mereka
tak tahu, malam itu akan menjadi malam terakhir Pak Seno bekerja. Kesehatannya
yang menurun drastis membuatnya terbaring di rumah sakit beberapa minggu
kemudian.
***
Di tengah
deru alat medis dan lampu putih yang berpendar di kamar rumah sakit, Pak Seno
berusaha tersenyum meski tubuhnya semakin lemah.
“Rania…
kamu janji ya, teruskan sekolahmu kalau ada kesempatan. Jangan khawatirkan
Ayah.”
“Tapi,
Yah…”
“Ssshh…
Ayah cuma ingin lihat kamu bahagia. Kalau kamu bahagia, Ayah juga bahagia.”
Tangis
Rania pecah. Ia tahu, perjuangan ayahnya tidak sia-sia. Namun, berat baginya
menerima kenyataan bahwa sosok yang selalu ada untuknya mungkin tak akan ada
lagi.
Pak Seno
menghembuskan napas panjang, matanya perlahan terpejam. Senyumnya masih tersisa
di wajahnya yang lelah.
***
Rania
berdiri di depan rumah kecil mereka yang kini kosong. Becak ayahnya masih
terparkir di sudut, seolah menunggu tuannya kembali. Dalam hatinya, ia
bersumpah akan menjalankan pesan ayahnya—menjadi seseorang yang pantas bagi
pengorbanan itu.
Setiap
kayuhan becak yang pernah ia dengar, setiap hujan yang pernah mereka lewati,
akan selalu menjadi pengingat bahwa ia lahir dari cinta dan perjuangan.