(Opini-Fillo Magz) Kota Padangsidimpuan kembali dihantam banjir besar (13-14/03/2025) yang merendam ratusan rumah warga. Curah hujan tinggi yang terjadi secara terus-menerus mengakibatkan meluapnya sejumlah sungai dan saluran air di berbagai kawasan, termasuk pemukiman penduduk dan area bisnis. Menurut data yang dihimpun, kerugian material ditaksir mencapai ratusan juta rupiah, sementara ratusan warga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Tidak hanya itu, banjir ini juga mengakibatkan lumpuhnya perekonomian masyarakat terdampak banjir.
Masyarakat korban banjir terlihat berupaya melakukan evakuasi mandiri dan saling membantu satu sama lain. Bantuan berupa makanan, pakaian, dan obat-obatan dikumpulkan secara swadaya. Beberapa komunitas relawan pun turut hadir membantu membersihkan puing-puing serta menyalurkan bantuan kepada warga terdampak.
Namun, di tengah upaya masyarakat untuk bertahan, kritik mulai bermunculan. Tidak sedikit warga yang menyatakan kekecewaannya terhadap lambatnya respons dari Pemerintah Kota dan BPBD dalam menyalurkan bantuan serta melakukan tindakan tanggap darurat.
Gubernur Sumatera Utara memang telah meninjau lokasi banjir. Namun, banyak pihak menilai tindakan tersebut lebih bersifat simbolis daripada operasional. Sementara itu, Pemko Padangsidimpuan bersama BPBD mengadakan rapat yang hasilnya tidak kunjung direalisasikan secara nyata di lapangan.
Bobby Nasution meninjau Korban Terdampak Banjir (18/03/2025)
Beberapa masyarakat bahkan menyatakan bahwa "Peninjau Lokasi Terdampak banjir seperti sekedar Laporan SPJ, atau yang jelas adalah ucapan empati kepada netizen" Hal ini mengindikasikan ketidakefisienan dalam upaya mitigasi dan penanganan bencana yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Menurut pakar mitigasi bencana, Dr. Rian Wijaya dari Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Indonesia, "Penanganan bencana tidak hanya berhenti pada tindakan tanggap darurat. Harus ada kesiapsiagaan, mitigasi struktural dan non-struktural, serta koordinasi yang baik antara pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta."
Sesuai dengan Peraturan Kepala BNPB No. 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana, seharusnya sudah ada mekanisme yang jelas dalam menghadapi situasi seperti ini. Namun, dalam praktiknya, koordinasi yang lemah dan tindakan yang lamban seringkali menjadi penghambat.
Maka dari itu, Padangsidimpuan dikenal memiliki bukit hijau yang mengelilingi yang cukup luas. Namun, mengapa banjir masih saja terjadi? Penyebabnya bukan hanya curah hujan yang tinggi, tetapi juga degradasi kualitas hutan yang sudah tidak mampu menyerap air sebagaimana mestinya. Selain itu, tata ruang kota yang buruk serta minimnya perencanaan drainase yang memadai turut berperan dalam memperburuk keadaan.
Bahkan jika hutan masih ada, perubahan fungsional menjadi lahan pertanian atau perkebunan yang tidak terpantau dengan baik juga mengurangi kemampuan lahan dalam menyerap air. Dengan kondisi topografi yang berbukit-bukit, air hujan justru mengalir dengan cepat ke pemukiman tanpa adanya resapan yang baik.
Kembali pada fokus bahasan, beberapa hari terakhir pasca banjir, berbagai kalangan masyarakat mengeluhkan mitigasi yang terkesan tidak bertanggung jawab. Pemko dan BPBD terkesan lambat, hanya rapat-rapat yang dipublikasikan, sedangkan hasil rapat tersebut belum ada implementasinya hingga opini ini dibuat.
Keluhan dari berbagai lapisan masyarakat ini semakin menguat setelah beberapa konten kreator, pewarta sosial media, dan netizen turut menyuarakan kekesalan mereka. Mereka menilai bahwa pemerintah daerah seakan tidak memiliki prosedur tetap yang jelas dalam menghadapi bencana yang selalu berpotensi terulang ini.
Mari kita simak hal berikut: tidak ada seorang pun yang ingin menjadi korban terdampak banjir. Bagi mereka yang tinggal di pinggir sungai, dampak banjir selalu menjadi yang paling parah. Rumah-rumah mereka terendam, barang-barang mereka rusak, dan kenyamanan hidup mereka direnggut begitu saja. Sementara itu, bagi warga di area lain, banjir mungkin hanya menjadi genangan sementara, tetapi tetap menimbulkan kekhawatiran.
Banjir di Padangsidimpuan biasanya hanya terjadi ketika hujan deras berkepanjangan. Namun, apakah itu berarti mereka yang terdampak harus selalu bersiap setiap kali langit mendung? Tidak. Tidak terdampak banjir adalah hak warga. Lingkungan yang aman dari bencana dan penanganan pasca bencana yang cepat serta tepat adalah hak mereka yang harus dipenuhi oleh pemerintah.
Namun, tanggung jawab ini juga tidak hanya terletak pada pemerintah. Berperilaku bersih, menjaga saluran air, dan memastikan lingkungan sekitar tidak terhambat aliran air adalah tugas bersama. Masyarakat harus memiliki langkah preventif yang nyata: membersihkan got dan drainase secara rutin, tidak membuang sampah sembarangan, membuat daerah resapan air seperti sumur resapan atau biopori, serta melaporkan dengan cepat setiap potensi bencana kepada pihak terkait.
Namun jika pemerintah hanya sibuk berwacana tanpa tindakan nyata, maka peran masyarakat menjadi semakin krusial. Inilah saatnya untuk bergerak bersama, agar setiap warga dapat menikmati hak mereka untuk hidup aman dari ancaman bencana banjir.
Tentang Opini Khoirum Al Hafiz adalah Aktifis dan Pengamat Birokrasi yang fokus pada isu-isu Kemasyarkatan Daerah Berkembang.