Cerita Pendek
Rozan terbangun dengan napas tersengal-sengal. Tubuhnya yang kurus penuh keringat dingin. Tiga malam berturut-turut, mimpi yang sama menghantuinya—terperosok ke dalam kubangan kotoran manusia yang melengket di tubuhnya, tak peduli seberapa keras ia mencoba membersihkannya. “Saima...” panggil Rozan pelan sambil mengusap wajahnya dengan tangan gemetar.
Di sampingnya, Saima yang baru terbangun mendesah dengan mata masih menyipit. “Ada apa lagi, Bang? Mimpi yang sama?” tanya Saima lembut. Perempuan itu memiliki wajah lembut namun sorot matanya tegas. Rambutnya yang hitam panjang dikepang seadanya. “Iya... Mimpi yang sama. Rasanya nyata sekali. Kubangan kotoran itu... seperti menyerap aku ke dalamnya.” “Udah, Bang. Jangan terlalu dipikirin. Mimpi kan cuma bunga tidur. Besok-besok juga hilang.”
“Ini sudah tiga malam, Saima. Tiga malam berturut-turut...,” Rozan menggeleng, berusaha menghapus gambaran mimpi buruknya dari kepala. “Entah kenapa rasanya seperti pertanda buruk.” “Pertanda apaan, Bang? Kita ini cuma orang kecil, yang penting kerja yang bener dan terus berdoa. Udah, coba tidur lagi.”
Rozan menghela napas panjang. Kata-kata Saima
menenangkannya sedikit, tapi bayang-bayang mimpi itu masih menempel seperti
lumpur yang tak bisa dibersihkan.
***
Beberapa hari kemudian, Rozan berjalan kaki pulang dari lokasi bangunan yang sedang ia garap. Hari sudah sore, dan langit mulai gelap. Parit-parit yang dulu penuh lumpur kini mengering karena musim kemarau. Saat melewati sebuah parit yang sudah tak lagi berlumpur, matanya menangkap sesuatu.
“Sial, apaan tuh?” gumamnya sambil menatap sesuatu yang mengkilap terbungkus kain hitam. Dengan hati-hati, ia menuruni bibir parit dan mengangkat tas hitam yang basah dan berat. Penasaran, ia membuka tas itu. Matanya terbelalak. Emas. Batangan emas kecil berukuran sepuluh gram, tersusun rapi. T
angannya gemetar. Kepalanya mendadak pusing,
antara bahagia dan takut. “Ya Tuhan... Dari mana ini? Jangan-jangan milik orang
penting... Atau... sesuatu yang nggak beres...” Ia menelan ludah dan mengamati
sekitar. Tak ada siapa-siapa. Dengan cepat, Rozan menutup kembali tas itu dan
menyelipkannya di balik jaketnya yang kumal. Kebingungan di Rumah Setibanya di
rumah, Rozan menyembunyikan tas hitam itu di bawah tumpukan karung bekas di
pojok dapur. Hatinya bimbang. “Kalau kubilang sama Saima... Ah, tapi kalau
sampai dia bilang sama orang lain, bagaimana? Nggak... Nggak. Ini harus
disimpan dulu. Tapi... terus gimana? Mau diapain?” Semalaman, Rozan hanya
terbaring dengan mata terbuka. Rasa takut dan tamak bergumul dalam dadanya.
***
Seminggu kemudian, sore yang lembap dengan angin berhembus pelan. Rozan tengah duduk di teras rumah, mengusap peluhnya setelah bekerja seharian. Tiba-tiba, suara pintu yang dibuka tergesa-gesa membuatnya menoleh. “Bang, ada surat dari Sutan!” Saima berseru dengan mata berbinar. Wajahnya tampak lebih hidup daripada biasanya. “Surat dari Sutan? Sini, kasih lihat.” Saima menyodorkan surat itu dengan tangan bergetar.
Rozan membukanya perlahan dan mulai membaca. “Bang... dia lulus. Anak kita lulus dari kampus ternama itu,” ucap Saima, suaranya nyaris tercekat oleh haru. “Iya... Iya, Saima. Tapi... tapi kita nggak punya uang buat ngurus semuanya. Biaya hidup di sana pasti besar...” Rozan menghela napas panjang, pandangannya jatuh ke lantai. “Bagaimana kita bisa membiayainya? Aku cuma tukang bangunan.” Air mata menggenang di pelupuk mata Saima. “Tapi Bang, dia anak kita. Dia punya kesempatan yang lebih baik. Aku... aku nggak mau lihat dia gagal hanya karena kita nggak mampu.”
Rozan terdiam. Hatinya
berkecamuk antara impian Sutan dan rahasia besar yang ia simpan di bawah
tumpukan karung bekas. Malam itu, pikirannya terus dihantui oleh pilihan yang
harus ia ambil.
***
Dini hari, Rozan mengguncang pelan bahu Saima. “Ma, bangun. Aku mau cerita.” Saima menggeliat lalu mengusap matanya. “Apa sih, Bang? Tengah malam gini?” “Aku... aku menemukan sesuatu. Waktu pulang kerja kemarin, di parit dekat jalan besar.” “Apa maksud Abang?” Rozan menghela napas panjang, lalu meraih tas hitam yang tersembunyi di bawah karung bekas. Perlahan, ia membukanya di depan Saima. “Ini... emas, Ma. Banyak sekali. Beratnya tadi kupikir sekitar 8,3 kilogram.”
Saima terbelalak. “Astaghfirullah! Dari mana ini, Bang?” “Nggak tahu. Tapi... tapi aku pikir... ini jawaban dari doa-doa kita.” “Tapi, Bang... Kalau ini milik orang dan mereka mencarinya?” “Itu yang aku takutkan. Tapi kita nggak bisa juga diam aja. Emas ini... bisa menyekolahkan Sutan. Bisa mengubah hidup kita.”
“Tapi... bagaimana caranya menjualnya? Kalau sekaligus, pasti
dicurigai.” Rozan mengangguk. “Besok aku akan coba mencari cara untuk melebur
emas ini. Agar... agar bentuknya berubah. Dan kita bisa jual sedikit demi
sedikit.” Saima mengangguk ragu, tapi sorot matanya menyiratkan harapan.
***
Rozan mulai bekerja di gudang kecil di belakang rumah. Dengan hati-hati, ia menyalakan api dari alat pemanas yang baru dibelinya. Nyala api biru itu berkobar dengan tenang, siap mengubah emas menjadi cairan panas. Batangan-batangan emas itu diletakkan dalam wadah logam yang kokoh. Perlahan, suhu yang panas mulai melelehkan emas. Bentuknya mencair, menjadi cairan emas berkilau yang tampak sangat murni. Rozan menuangkan cairan emas itu ke dalam cetakan-cetakan kecil berbentuk bulat pipih.
Membiarkannya mengeras menjadi kepingan-kepingan yang
lebih mudah dijual. Namun, saat ia menatap kepingan emas hasil kerjanya,
perasaan bersalah mulai menggerogoti hatinya. Apakah ini benar? Ataukah ini
justru akan menjadi bencana bagi keluarganya? Rozan menggenggam
kepingan-kepingan emas itu dengan tangan gemetar, antara takut, harapan, dan
ambisi yang terus berperang dalam dirinya.
***
Keesokan harinya, Rozan sedang duduk di depan rumah ketika dia melihat tiga pria asing berkeliaran di sekitar parit yang mengering. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dengan sepatu bot tinggi yang berlumpur. Salah satu dari mereka membawa tongkat besi, mengaduk-aduk lumpur parit dengan kasar.
“Cepat! Kalau nggak ketemu, kita semua yang bakal celaka!” suara pria bertubuh kekar terdengar marah, sementara yang lain terus mengais-ngais parit dengan cemas. “Udah seminggu lebih, siapa tahu ada yang nemu duluan,” kata pria yang lebih pendek dengan nada putus asa.
“Kita nggak bisa pulang sebelum barang itu ketemu! Kau
tahu sendiri bos nggak terima alasan!” bentak pria pertama. Rozan yang
mengintip dari balik tirai mulai gemetar. Keringat dingin mengalir di
pelipisnya. Tak salah lagi, mereka pasti sedang mencari emas yang ditemukannya.
Hatinya berdebar kencang. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Oleh Erwinsyah Putra