Cerita Pendek
Ketika Perasaan Nagatha Mulis
oleh Erwinsyah Putra
Langit sore mulai memerah saat Abdul—atau lebih dikenal dengan nama TikTok-nya, Nagatha Mulis—duduk di sudut kamar kontrakannya. Ponselnya masih menyala, menampilkan notifikasi dari ratusan komentar di video terbarunya. Ia menghela napas panjang, kepalanya berdenyut.
Di layar, wajahnya terlihat begitu berbeda dari yang ia lihat di cermin. Wajah itu berbicara dengan suara yang lebih lembut, lebih jenaka, dan terkadang… bukan dirinya.
Di luar kamar, suara langkah kaki terdengar mendekat. Tak lama kemudian, pintu diketuk.
"Bang Nagatha! Woy, buka pintu, ini gue, Kijing!"
Abdul mengusap wajahnya, mencoba mengusir kelelahan yang menggelayuti pikirannya. Ia bangkit dan membuka pintu, membiarkan Kijing—nama asli Suganda Mulyana, sahabatnya sejak SMA—masuk.
Kijing menjatuhkan dirinya ke kasur Abdul tanpa permisi, seperti biasa. "Gue baru lihat video lo yang terbaru. Buset, lo sekarang bahas politik juga? Lo seriusan percaya teori itu?"
Abdul mendengus pelan. "Gue gak tahu, bro. Gue cuma... ikut arus. Lo tahu kan, yang lagi rame itu."
"Ikut arus?" Kijing menaikkan sebelah alisnya. "Dulu lo yang selalu bilang, ‘Jangan gampang termakan tren. Kita harus punya pendirian sendiri.’ Sekarang lo sendiri malah jadi pion TikTok?"
Abdul tidak menjawab. Ia tahu Kijing benar. Dulu, ia bukan orang yang gampang terpengaruh. Ia suka berpikir sendiri, mencari kebenaran dengan sudut pandangnya sendiri. Tapi sekarang?
Sialnya, algoritma TikTok tidak menyukai ‘pemikiran sendiri’. Algoritma menyukai tren, dan tren selalu berubah, seringkali menjadi lebih ekstrem.
"Lo ingat gak, Bang," suara lain menyela. Dari ambang pintu, seorang gadis dengan hoodie oversized masuk dengan membawa sebungkus gorengan. "Dulu lo sering bilang, ‘Gue gak bakal jadi budak konten.’ Lah, sekarang?"
Abdul meliriknya sekilas. "Tumpak, lo kenapa sih malah ikut nyeramahin gue?"
Tumpak—atau nama aslinya, Tumpak Hasibuan—terbahak. "Karena sekarang lo kayak NPC, Bang. Semua yang lo lakuin, semua yang lo omongin… bukan lo. Itu algoritma yang ngomong."
Abdul tertawa kecil, tapi tawa itu hambar.
Ia ingat bagaimana awalnya ia hanya ingin membuat konten komedi ringan. Lama-lama, ia mulai menyesuaikan diri dengan tren, sedikit menambah unsur kontroversi, meniru gaya bicara yang lebih gemulai karena ternyata itu lebih menarik perhatian.
Awalnya, itu cuma bercanda. Sampai suatu hari, ia sadar dirinya mulai refleks berbicara seperti itu di dunia nyata.
Di warung kopi, di depan abang tukang parkir, bahkan di rumah. Ibunya sampai terdiam lama saat ia tanpa sadar bicara dengan nada yang bukan dirinya.
Dan yang lebih mengerikan, bukan cuma cara bicara yang berubah. Sudut pandangnya tentang banyak hal—agama, politik, sosial—juga ikut bergeser. Bukan karena keyakinan, tapi karena engagement.
Dulu, ia tidak peduli siapa yang berkuasa. Sekarang, ia tanpa sadar ikut mendukung salah satu kubu hanya karena itu sedang viral. Dulu, ia punya prinsip soal banyak hal. Sekarang, ia hanya peduli soal bagaimana membuat konten yang relate dan disukai banyak orang.
Sial.
"Gue mau berhenti," gumamnya tiba-tiba.
Kijing dan Tumpak saling pandang. "Serius?" tanya Kijing.
"Iya."
Abdul menarik napas dalam, lalu mengambil ponselnya. Jarinya melayang di atas ikon aplikasi TikTok.
Hapus?
Tangannya gemetar. Tumpak menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. "Bang, lo sadar gak? Kalo lo berhenti sekarang, lo bakal kehilangan banyak hal."
"Gue tahu."
"Follower, endorse, uang, popularitas—"
"Gue tahu, Tumpak." Abdul menatap lurus ke layar. "Tapi gue udah kehilangan yang lebih penting dari itu semua."
Dan dengan satu ketukan, aplikasinya menghilang dari layar.
Hening.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, kepala Abdul terasa lebih ringan.
Di luar, matahari mulai tenggelam, menyisakan semburat jingga di cakrawala. Angin malam bertiup masuk melalui jendela yang sedikit terbuka.
Kijing menyenggolnya pelan. "Lo bakal balik jadi Abdul lagi?"
Abdul tersenyum kecil. "Gue harap begitu."